Pages

5 July 2012

Kisah: Menabur ikan dilaut

Seorang nelayan yang
sebetulnya sudah mapan,
datang ke Kyai Abdullah
Salam di kediamannya,
Pondok Pesantren Maslakul
Huda Kajen Pati. Maksud kedatangannya adalah

untuk mengeluhkan perihal
rizkinya yang akhir-akhir
ini tersendat-sendat. Ia ingin
ijazah do’a. “Kyai, akhir-akhir ini hasil
tangkapan kami menurun,
tolong berilah kami do’a
agar hasil ikan kami
melimpah?” kata tamu itu
pada Kyai. “Bapak ini nelayan tulen?”
tanya Kyai Dullah Salam. “Betul Kyai!” “Untuk menjaring ikan di
laut, tentu Bapak ini
memakai kapal?” “Benar Kyai. Bahkan kami
sudah punya kapal sendiri.” “Punya jaring sendiri, punya
mesin sendiri, dan punya
peralatan-peralatan untuk
menunjang kelancaran
penangkapan ikan!” sahut
Kyai. “Betul sekali, Kyai!” Diam sejenak. “Bapak ini pernah menabur
bibit ikan di laut?” tanya
Kyai tiba-tiba, membuat
nelayan itu terkejut. “Tentu saja tidak, Kyai!”
jawab sang nelayan agak
linglung. Ia tak menduga
jika akan menemukan
pertanyaan demikian.
Seabreg orang pandai yang pernah dikenalnya, tidak
pernah menanyai demikian.
Tentu tak terbayangkan
jika nelayan harus menabur
bibit ikan di laut agar
berkembang biak dan menjadi besar-besar
sebelum kemudian dijaring
ikannya. Mulai dari moyang,
buyut hingga kakeknya,
ikan-ikan di laut tinggal saja
mengeruk tanpa harus menabur anakan ikan
terlebih dahulu. Dan…. tak
pernah habis. “Bapak dan kawan-kawan
pernah memberi makan
ikan-ikan di laut?” tanya
Kyai melanjutkan. “Tid…. tidak pernah Kyai!”
Nelayan itu tampak makin
gugup. Pertanyaan Kyai
tampak kian ‘ekstrim’. “Jika demikian adanya, ya
sudahlah!” kata Kyai
kemudian. Diputusi Kyai demikian,
nelayan itu tambah
bingung, bukankah maksud
kedatangannya minta ijazah
do’a agar dapat ikan
banyak? “Tapi, kami perlu doa agar
hasil kami melimpah Kyai!”
Kata nelayan itu belum
puas. Ia masih belum
mengerti apa yang
dimaksud Kyai. “Iya, saya tahu itu. Bapak
ini setiap hari berangkat ke
laut?” “Setiap hari Kyai!” “Dapat ikan?” “Dapat Kyai! Tapi tidak
sesuai dengan pengeluaran
untuk perbekalan melaut!
Akhir-akhir ini hasil yang
kami peroleh masih
merugi!” “Baiklah. Saya ulangi lagi.
Bapak pernah menabur ikan
di laut dan memberi
makan?” “Tidak pernah Kyai!” “Jadi selama ini Bapak ini
hanya mengeruk
kandungan ikan di laut?” “Begitulah Kyai. Kami hanya
menangkap dan menjaring
saja!” “Oo… jadi selama ini para
nelayan itu hanya
mengeruk saja?” Kyai
geleng-geleng kepala. “Betul, Kyai. Kami hanya
tinggal menjaring saja!” “Ya sudah kalau begitu!”
jawab Kyai sambil beranjak
dan masuk ke dalam rumah. Nelayan itu tampak makin
linglung, sungguh ia tidak
bisa menangkap jalan
pikiran Kyai Abdullah
Salam. Perasaannya jadi
amat gundah, apalagi jika dilihatnya wajah Kyai
menyimpan rasa kekesalan
pada dirinya. Tamu lain yang kebetulan
tahu peristiwa itu kasihan
juga. Mumpung Kyai masuk
ke dalam kamar, tamu itu
memberi penjelasan singkat
pada pak nelayan. “Begini Pak. Maksud Kyai
Dullah Salam tadi adalah,
Bapak ini sebaiknya narimo
saja. Jika Bapak tidak
pernah merasa menabur
ikan dan memberinya makan, tapi setiap hari
Bapak jaring ikan-ikan di
laut itu, maka adakalanya
dapat banyak, adakalanya
dapat sedikit. Jadi Bapak
sudah baik mau berusaha mencari ikan. Jadi cobalah
Bapak untuk bersyukur
pada Allah yang telah
menyediakan ikan-ikan di
laut untuk dikeruk. Intinya
adalah, berdoalah seperti biasanya dan besyukurlah,
jangan suka mengeluh!” Demi mendengar
keterangan dari tamu itu,
kini nelayan itu jadi paham
dan mengerti. Kini lega
hatinya. Sekarang ia tahu
apa yang harus diperbuatnya, yaitu belajar
bersyukur.

0 komentar:

Post a Comment