Pages

17 July 2012

Kisah sedih seorang istri

Sore itu, menunggu
kedatangan teman yang
akan menjemputku di
masjid ini seusai ashar..

seorang akhwat datang,
tersenyum dan duduk disampingku,
mengucapkan salam,
sambil berkenalan dan
sampai pula pada
pertanyaan itu. “anty
sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku.
Kemudian akhwat
itu .bertanya lagi
“kenapa?” hanya bisa ku
jawab dengan senyuman..
ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya
itu bukan alasan. “mbak menunggu siapa?”
aku mencoba bertanya.
“nunggu suami”
jawabnya. Aku melihat
kesamping kirinya, sebuah
tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa
kutebak apa isinya. Dalam
hati bertanya- tanya, dari
mana mbak ini? Sepertinya
wanita karir. Akhirnya
kuberanikan juga untuk bertanya “mbak kerja
dimana?”, ntahlah
keyakinan apa yg
meyakiniku bahwa mbak
ini seorang pekerja,
padahal setahuku, akhwat2 seperti ini
kebanyakan hanya
mengabdi sebagai ibu
rumah tangga. “Alhamdulillah 2 jam yang
lalu saya resmi tidak
bekerja lagi” , jawabnya
dengan wajah yang aneh
menurutku, wajah yang
bersinar dengan ketulusan hati. “kenapa?” tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum dan
menjawab “karena inilah
cara satu cara yang bisa
membuat saya lebih
hormat pada suami”
jawabnya tegas. Aku berfikir sejenak, apa
hubungannya? Heran. Lagi-
lagi dia hanya tersenyum. Ukhty, boleh saya cerita
sedikit? Dan saya berharap
ini bisa menjadi pelajaran
berharga buat kita para
wanita yang Insya Allah
akan didatangi oleh ikhwan yang sangat
mencintai akhirat. “saya bekerja di kantor,
mungkin tak perlu saya
sebutkan nama kantornya.
Gaji saya 7juta/bulan.
Suami saya bekerja sebagai
penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari.
Kami menikah baru 3
bulan, dan kemarinlah
untuk pertama kalinya
saya menangis karena
merasa durhaka padanya. Waktu itu jam 7 malam,
suami baru menjemput
saya dari kantor, hari ini
lembur, biasanya sore jam
3 sudah pulang. Saya capek
sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan
kepalanya pusing. Dan
parahnya saya juga lagi
pusing. Suami minta
diambilkan air minum, tapi
saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil
sendirilah”. Pusing membuat saya
tertidur hingga lupa sholat
isya. Jam 23.30 saya
terbangun dan cepat-cepat
sholat, Alhamdulillah
pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya
melihat suami saya tidur
dengan pulasnya. Menuju
ke dapur, saya liat semua
piring sudah bersih tercuci.
Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan
suami saya? Terlihat lagi
semua baju kotor telah di
cuci. Astagfirullah, kenapa
abi mengerjakan semua
ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya
segera masuk lagi ke
kamar, berharap abi sadar
dan mau menjelaskannya,
tapi rasanya abi terlalu
lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai
memenuhi jiwa saya, saya
pegang wajah suami saya
itu, ya Allah panas sekali
pipinya, keningnya, Masya
Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya
teringat atas perkataan
terakhir saya pada suami
tadi. Hanya disuruh
mengambilkan air minum
saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes,
betapa selama ini saya
terlalu sibuk diluar rumah,
tidak memperhatikan hak
suami saya.” Subhanallah, aku melihat
mbak ini cerita dengan
semangatnya, membuat
hati ini merinding. Dan
kulihat juga ada tetesan air
mata yg di usapnya. “anty tau berapa gaji
suami saya? Sangat
berbeda jauh dengan gaji
saya. Sekitar 600-700rb/
bulan. 10x lipat dari gaji
saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa
durhaka pada suami saya.
Dengan gaji yang saya
miliki, saya merasa tak
perlu meminta nafkah
pada suami, meskipun suami selalu memberikan
hasil jualannya itu pada
saya, dan setiap kali
memberikan hasil
jualannya , ia selalu
berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di
ambil ya. Buat keperluan
kita. Dan tidak banyak
jumlahnya, mudah2an umi
ridho”, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya
merasakan dalamnya kata-
kata itu. Betapa harta ini
membuat saya sombong
pada nafkah yang
diberikan suami saya”, lanjutnya “Alhamdulillah saya
sekarang memutuskan
untuk berhenti bekerja,
mudah-mudahan dengan
jalan ini, saya lebih bisa
menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita
itu begitu susah menjaga
harta, dan karena harta
juga wanita sering lupa
kodratnya, dan gampang
menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak
memberikan kesempatan
bagiku untuk berbicara. “beberapa hari yang lalu,
saya berkunjung ke rumah
orang tua, dan
menceritakan niat saya ini.
Saya sedih, karena orang
tua dan saudara-saudara saya tidak ada yang
mendukung niat saya
untuk berhenti berkerja.
Malah mereka
membanding-bandingkan
pekerjaan suami saya dengan orang lain.” Aku masih terdiam, bisu,
mendengar keluh
kesahnya. Subhanallah, apa
aku bisa seperti dia?
Menerima sosok pangeran
apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan. “kak, kita itu harus
memikirkan masa depan.
Kita kerja juga untuk
anak-anak kita kak. Biaya
hidup sekarang ini besar.
Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah
kakak malah pengen
berhenti kerja. Suami
kakak pun penghasilannya
kurang. Mending kalo
suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-
santai aja di rumah. Salah
kakak juga sih, kalo ma
jadi ibu rumah tangga,
seharusnya nikah sama
yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat
melamar kakak duluan
sebelum sama yang ini.
Tapi kakak lebih milih
nikah sama orang yang
belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak,
Cuma suami kakak yang
tidak punya penghasilan
tetap dan yang paling buat
kami kesal, sepertinya
suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin
kerja di bank oleh saudara
sendiri yang ingin
membantupun tak mau,
sampai heran aku, apa
maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali,
menceritakan ucapan adik
perempuannya saat
dimintai pendapat. “anty tau, saya hanya bisa
nangis saat itu. Saya
menangis bukan Karena
apa yang dikatakan adik
saya itu benar, bukan
karena itu. Tapi saya menangis karena imam
saya dipandang rendah
olehnya. Bagaimana
mungkin dia meremehkan
setiap tetes keringat suami
saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah
memandangnya mulia.
Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang
senantiasa membangunkan
saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin
dia menghina orang yang
dengan kata-kata
lembutnya selalu
menenangkan hati saya.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang
berani datang pada orang
tua saya untuk melamar
saya, padahal saat itu
orang tersebut belum
mempunyai pekerjaan. Baigaimana mungkin
seseorang yang begitu
saya muliakan, ternyata
begitu rendah
dihadapannya hanya
karena sebuah pekerjaan. Saya memutuskan
berhenti bekerja, karena
tak ingin melihat orang
membanding-bandingkan
gaji saya dengan gaji suami
saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga
untuk menghargai nafkah
yang diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan
berhenti bekerja untuk
memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi
membantah perintah
suami. Semoga saya juga
ridho atas besarnya nafkah
itu. Saya bangga ukhti
dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga,
bahkan begitu
menghormati
pekerjaannya, karena tak
semua orang punya
keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan
orang lebih memilih jadi
pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan
yang seperti itu. Tapi
lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya
untuk menafkahi istri
dengan nafkah yang halal.
Itulah yang membuat saya
begitu bangga pada suami
saya. Semoga jika anty
mendapatkan suami
seperti saya, anty tak
perlu malu untuk
menceritakannya
pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah
pekerjaannya ukhty, tapi
masalah halalnya,
berkahnya, dan kita
memohon pada Allah,
semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang
haram”. Ucapnya terakhir,
sambil tersenyum manis
padaku. Dia mengambil tas
laptopnya,, bergegas ingin
meninggalkannku. Kulihat
dari kejauhan seorang
ikhwan dengan
menggunakan sepeda motor butut mendekat ke
arah kami, wajahnya
ditutupi kaca helm,
meskipun tak ada niatku
menatap mukanya. Sambil
mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah
itu tenang sekali, wajah
seorang istri yang begitu
ridho. Ya Allah…. Sekarang giliran aku yang
menangis. Hari ini aku
dapat pelajaran paling baik
dalam hidupku. Pelajaran yang membuatu
menghapus sosok
pangeran kaya yang ada
dalam benakku.. Subhanallah.. Sahabat..
Kekeliruan slama ini, orang
mengganggap
kebahagiaan itu adalan
kaya akan materi.. mobil
mewah.. rumah bagus.. Tapi sesungguhnya
kekayaan sebanarnya itu
ada saat kita merasa cukup
akan nikmat ALLAH
walaupun tampa ada
materi yang bersifat wah..

0 komentar:

Post a Comment