Pages

28 July 2012

Cerpen: Mata yang berlabuh

Matahari kelabu. Udara
bisu.Tak ada suara lengkingan
renyai yang menyeruak
seperti biasanya setiap kali ia
jejakkan kaki di daratan yang

berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang,
yang dengan lari-lari kecilnya,
menghalau anak yang
berlarian di depannya itu dari
air laut yang merambati kaki
mereka. semuanya telah menghilang. Tapi masih ada yang belum
ditemukan. Karena itu,
Abdullah, laki-laki yang
berjalan terseok itu, terus
mencari-cari. Tangannya telah
lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi gelombang di
dadanya lebih besar daripada
kehendak tubuhnya. Ia
paksakan kakinya melangkah
meski nyeri mulai menusuk
pada memar kakinya. Abdullah hentikan langkah.
Layangkan matanya pada
langit. Ia tidak tahu lagi
apakah ini siang atau malam.
Waktu telah berhenti sejak
peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu untuk mengais sisa
tenaganya. Lalu apa yang
masih menggerakkannya?
Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah
tidak berfungsi lagi. Namun,
kalau pun kaki itu harus dicabut dari tungkainya,
Abdullah akan terus berjalan.
Semuanya memang telah
sirna. Tapi masih ada yang
tertinggal. Karena itu, ia masih
mencari. Sepanjang beberapa depa, Abdullah kembali
menghentikan langkah.
Kakinya dilanda nyeri. Seribu
semut merah seperti
menggigiti urat kakinya.
Abdullah Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya
istirahat sejenak. Sebab
sesudahnya, dengan rasa sakit
yang masih menyisa,
Abdullah berjalan kembali. Mungkin rasa sakit itu sudah
hilang. Bersama tumpahan air
mata yang membanjir
berhari-hari sebelumnya
hingga tak menyisa. Meskipun
ia minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan
bisa menggantinya. Abdullah
pun telah menghapus air mata
itu dalam catatan di darahnya.
Seperti beku telah
membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia berjalan. Mata
yang gelap.Berhari-hari yang
lalu, Abdullah telah jelajahi
seluruh tempat. Puing-puing
yang luruh. Mayat-mayat
yang serak. Ada tetangganya, teman melaut, teman
anaknya yang sering
menunggui kapal ikan datang,
penjaga surau kampung.
Namun ia tak ada di sana.
Karena itu, Abdullah terus mencari.”Sudahlah, Abdullah.
Istirahatlah sejenak. Badanmu
sudah letih.” Ia tidak begitu awas, apakah
itu suara istrinya atau
tetangganya. ”Nanti saja. Aku selesaikan dulu
pekerjaan ini. Nanti aku
kembali.”
Tidak. Ia telah berbohong
pada istrinya. Kembali? Aku
belum menemukan yang kucari, maka aku tidak akan
kembali. Lagipula kemana aku
akan kembali? Abdullah
menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tak kan ada
langkah surut, suara hati Abdullah kuatkan
langkahnya.Istrinya memang
memahami sikapnya. Batu
yang keras itu tak akan
mudah dilebur dalam satu
pukulan kampak.”Anakmu sudah menanti. Mengapa
engkau masih tak tahu juga,
Abdullah. Bukankah engkau
tahu mereka sudah
menantimu untuk makan
siang.”Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam
menentang ke atas. Ada yang
dicarinya di sana. Tapi tak ada
apa-apa. Langit tak biru. Merah memantul dari lensa
matanya. Hanya angin yang
berkesiur. Selebihnya tak ada. ”Nantilah. Nanti saja. Aku
belum ingin pulang.” ”Apa yang kau cari, wahai
Abdullah? Kau tak turuti
anjuran istrimu. Mengapa engkau masih bengal
juga, Abdullah! ”Itu suara ayahnya. Suaranya
keras, seperti dirinya.
Abdullah tak peduli.
”Kemana engkau akan pergi,
anakku?” perempuan yang
matanya kelabu memanggilnya serupa
angin.”Tak usah hiraukan aku,
Bu.”Abdullah terus berjalan.
Kakinya yang menyusut dari
waktu ke waktu dan makin
kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya. Mayat-mayat bergelimpangan
seperti rongsokan. Bau sengat
yang mengundang
kerumunan lalat menggunduk
di setiap setiap tempat. Tapi
Abdullah tak hiraukan itu. Matanya yang berpijar merah
melata, susuri setiap mayat
yang bergelimpangann itu.
Tangannya mengorek satu
demi satu mayat yang
terhampar di kakinya. ”Ia tak ada di sana !” Ibunya berseru. Rambut
peraknya berkeriyap
dihembus angin. Abdullah
tidak ingin mendengar.
Kakinya terus ia seret.
”Pulanglah, Abdullah. Maka kau akan menemukannya,”
suara ibunya memanggil lagi.
Langkahnya makin melata.
Seluruh sendi-sendi kakinya
bergetar, merambat ke engsel
tubuhnya. Tapi Abdullah tak mau mengalah pada keadaan
tubuhnya. Ia seret kakinya
dengan sisa tenaga. Jalan
ibarat pasir yang menusuk
luka di tubuhnya. Serakan
mayat itu masih bergelimpangan di kanan-kiri.
Halangi langkah tubuhnya
yang makin ringkih. Mata-
mata mereka membuka.
Seperti hendak
menyampaikan pesan pada Abdullah. ‘Sudahlah, Abdullah. Pulanglah
ke rumah.” Abdullah singkirkan suara-
suara itu dari udara. Langit
menjadi-jadi bekunya. Hanya
ada suaranya yang mengapai-
gapai udara. Ia hampir
kehilangan keseimbangan ketika kaki kanannya
menabrak tubuh yang
membujur. Tubuhnya
mencoba menahan lengkung
badannya yang hampir jatuh
ke tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan
merengkuhnya. Berat
badannya condong ke tanah. Bunyi berdebam memecah
sunyi ketika tubuhnya yang
labil menimpa mayat itu. Mata
yang putih. Seperti daun
jendela yang membuka lebar.
Menyeret Abdullah masuk dan terhisap ke dalamnya.
Mata yang berkata. Mengapa
kau tak yakin ini semua,
Abdullah. Kemana kau
campakkan imanmu itu.
Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu. Abdullah menggeram.
Diamlah. Semuanya sudah
kosong. Hambur oleh angin
yang membawa pergi. Hanya
satu yang masih tersisa. Aku
sedang mencarinya dan ingin membuktikan keberadaan-
Nya. Jadi singkirkan kakimu,
hai mayat yang tak punya
rasa. Tak ada yang dapat
menghalangi langkahku. Dengan menahan sakit pada
tangan kirinya yang menimpa
aspal kasar, tangan Abdullah
menjangkau tongkat kayu
dengan tangan kanannya.
Ketika tumpuannya telah kukuh, Abdullah menaikkan
tubuhnya ke atas. Begitu
susah payah ia menegakkan
tubuh. Tapi siapakah yang bisa
mengalahkan kekerasan
hatinya? Setelah tubuhnya tegak
seimbang, Abdullah
menendang mayat itu. Ia
injak dengan kaki kanannya
yang masih menyimpan
tenaga. Lalu mendengus. Jalan yang ditempuh Abdullah
makin menyempit dalam
pandangan matanya yang
kelabu. Tapi ia terus berjalan.
Beberapa depa di depannya,
Abdullah tersentak. Masjid Baiturrahman masih berdiri
tegak. Seperti mercusuar
tinggi di tengah lautan puing-
puing yang menyerak.
Warnanya yang putih
pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas.
Padang mahsyar. Abdullah semakin kebut
langkahnya. Seperti roda,
kakinya yang pincang
bergerak cepat. Ia berlari.
Seperti kuda sembrani yang
melintas di permukaan laut yang tenang. ”Mau kemana engkau,
Abdullah?” Abdullah tak menjawab. Ia
terus seret langkahnya.
Menekan gemuruh yang
berputar dahsyat di
kepalanya. Adakah Engkau di
sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya sejak
berhari-hari lalu. Tapi apa yang
ada di dadanya ini? Begitu
hebat guncangannya, begitu
keras gemuruhnya. Ketika
tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah
meraung hebat. Seluruh
persendiannya patah dan
lunglai. Ia terjerambab dengan
tubuh kehilangan daya. Dan
terduduk di teras masjid dengan mata yang buta.
Dengan tubuh yang tergugu.
Adakah badai yang lebih
besar dari ini, Ya Allah?
Abdullah menangis. Hatinya
basah. ”Apakah engkau
menemukannya, Abdullah?”
Suara yang jauh meruapi
telinganya. Dagu Abdullah mengangguk
makin hebat. Air mata
menggenang di wajahnya.
Membasah di janggutnya
yang tipis. Seperti kilau
minyak zaitun. Tak sanggup gelombang suara keluar dari
kerongkongannya yang
tercekat. Hanya lirih yang
mengisi udara. ”Bagaimana mungkin,
bukankah matamu telah buta,
Abdullah?” Suara yang lembut
menghunjam dadanya.
Air mata Abdullah makin
menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak kuat menahan guncangan
yang kuat dalam dadanya.
Matanya memang telah buta.
Sejak gelombang pasang itu
meraup seluruh hidupnya. Ia
tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata yang membasuh
hatinya membukakan semua
pintu yang terkatup. Ia seakan melihat istrinya,
ibunya, bapaknya, dan
Ibrahim anaknya
melambaikan tangan ke
arahnya. Lalu di sebelah-
sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan.
Senyum mereka merekah.
Ikhlas. Seperti kuntum-
kuntum embun yang
membeningkan pagi. Lalu
perlahan semuanya mengabur serupa kabut yang membias
di fajar subuh.
Suara adzan menyayat
telinganya. Abdullah merasa
tubuhnya melayang dalam
udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika tersadar, ia
melihat tubuhnya bersimpuh
di depan mihrab masjid.
Begitu kecil. Dan tanpa
daya.

0 komentar:

Post a Comment