Pages

10 July 2012

Kisah: Tentang pengorbanan

Aku dilahirkan di sebuah
dusun pegunungan yang
sangat
terpencil. Hari demi hari, orang
tuaku membajak tanah

kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang
adik, tiga tahun lebih muda
dariku. Suatu ketika, untuk membeli
sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis
disekelilingku kelihatannya
membawanya, Aku mencuri
lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera
menyadarinya. Beliau
membuat dikku dan aku
berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat
bambu di tangannya.”Siapa yang mencuri uang itu?”
Beliau bertanya. Aku terpaku,
terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa
pun mengaku, jadi Beliau
mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak
dipukul!” Dia mengangkat
tongkat bambu itu tingi-
tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya
dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!” Tongkat panjang itu
menghantam punggung
adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia
terus menerus
mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
sudahnya, Beliau duduk di
atas ranjang batu bata kami
dan memarahi, “Kamu sudah
belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan
di masa mendatang? … Kamu
layak dipukul sampai mati!
Kamu pencuri tidak tahu
malu!” Malam itu, ibu dan aku
memeluk adikku dalam
pelukan
kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam
itu, saya tiba-tiba mulai
menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan
berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang.
Semuanya sudah terjadi.” Aku masih selalu membenci
diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk maju
mengaku. Bertahun-tahun
telah lewat, tapi insiden
tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku
tidak pernah akan lupa
tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu,
adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11. Ketika adikku berada pada
tahun terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke SMA di
pusat kabupaten. Pada saat
yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam
itu, ayah berjongkok di
halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya mendengarnya
memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang
begitu baik…hasil yang begitu
baik…” Ibu mengusap air
matanya yang mengalir dan
menghela nafas, “Apa
gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan
keluar ke hadapan ayah
>dan berkata, “Ayah, saya
tidak mau melanjutkan
sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan
tangannya dan memukul
adikku pada wajahnya.
“Mengapa kau mempunyai
jiwa yang begitu keparat
lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis
di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!” Dan begitu
kemudian ia mengetuk setiap
rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku
menjulurkan tanganku
selembut yang aku bisa ke
muka adikku yang
membengkak, dan berkata,
“Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya;
kalau tidak ia tidak akan
pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.” Aku,
sebaliknya, telah
memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan
harinya, sebelum subuh
datang, adikku meninggalkan
rumah dengan beberapa helai
pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke
samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas
di atas bantalku: “Kak, masuk
ke universitas tidaklah
mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu
uang.” Aku memegang kertas
tersebut di atas tempat
tidurku, dan menangis dengan
air mata bercucuran sampai
suaraku hilang. Tahun itu,
adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku
pinjam dari seluruh dusun, dan
uang yang adikku hasilkan
dari mengangkut semen pada
punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di
universitas). Suatu hari, aku
sedang belajar di kamarku,
ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan,
“Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar
sana!” Mengapa ada seorang
penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
“Mengapa kamu tidak bilang
pada teman sekamarku kamu
adalah adikku?” Dia
menjawab,tersenyum, “Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir
jika mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak
akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air
mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu dari
adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-
kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu
adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku
bagaimana pun
penampilanmu…” Dari sakunya, ia
mengeluarkan sebuah jepit
rambut berbentuk kupu-
kupu. Ia memakaikannya
kepadaku, dan terus
menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir
kamu juga harus memiliki
satu.” Aku tidak dapat
menahan diri lebih lama lagi.
Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan
menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku
23. Kali pertama aku membawa
pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di
mana-mana. Setelah pacarku
pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak
waktu untuk membersihkan
rumah kita!” Tetapi katanya,
sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah
ini. Tidakkah kamu melihat
luka pada tangannya? Ia
terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu..” Aku masuk ke dalam ruangan
kecil adikku. Melihat
mukanya yang kurus, seratus
jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit
saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu
sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu
tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja
dan…” Ditengah kalimat itu ia
berhenti. Aku membalikkan
tubuhku memunggunginya,
dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu,
adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku
tinggal di kota. Banyak kali
suamiku dan aku
mengundang orang tuaku
untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali
meninggalkan dusun, mereka
tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku
tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah
mertuamu aja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur
pabriknya. Kami
menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut. Ia
bersikeras memulai bekerja
sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas
sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel,
ketika ia mendapat sengatan
listrik, dan masuk rumah
sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips
putih pada kakinya, saya
menggerutu, “Mengapa kamu
menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah
harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini.
Lihat kamu sekarang, luka
yang begitu serius. Mengapa
kamu tidak mau mendengar
kami sebelumnya?” Dengan tampang yang serius
pada wajahnya, ia membela
keputusannya. “Pikirkan
kakak ipar–ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir
tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu,
berita seperti apa
yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air
mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-
sepatah: “Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku
menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan
aku 29. Adikku kemudian berusia 30
ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu.
Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu
bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati
dan kasihi?” Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab,
“Kakakku.” Ia melanjutkan dengan
menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak
dapat kuingat. “Ketika saya
pergi sekolah SD, ia berada
pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya
berjalan selama dua jam
untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari,
Saya kehilangan satu dari
sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari
kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika
kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu
dingin sampai ia tidak dapat
memegang sumpitnya. Sejak
hari itu, saya bersumpah,
selama saya masih hidup, saya
akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.” Tepuk tangan membanjiri
ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu
susah kuucapkan keluar
bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku
berterima kasih adalah
adikku.” Dan dalam
kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari
wajahku seperti sungai. From me:
“Simply things reminds to
endless love for everyone,
even we don’t realize or care
about it” (sometimes)
Saya jadi ingat akan salah satu hal yang pernah menyentuh
hati yang dilakukan oleh salah
satu best friend, yaitu: Dia
selalu ingat membelikan aku
“sesuatu (hadiah)”
kemanapun dia pergi, trus saya bertanya, ”kenapa kamu
selalu ingat untuk
membelikan aku
hadiah???” (padahal saya
tidak pernah
mengharapkannya, bahkan kadang2 saya juga tidak
membelikan dia sesuatu)
Teman saya menjawab,
”karena aku peduli dan kau
adalah salah satu temanku”.

0 komentar:

Post a Comment