Betapa mendalam dan besar kecintaan sahabat pada Nabi, juga bagaimana
rasa rindu yang sangat menyayat hati mereka. Bahkan, sebenarnya sebab
wafatnya Abu Bakar ash Shiddiq adalah karena terbunuh oleh rindu pada
Nabi yang membakar hatinya (sebagian riwayat menyatakan, nafas beliau
berbau seperti daging yang dipanggang) .
Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka
yang mengkumandangakan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk
karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu
mempunyai suara emas yang khas.
Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang
saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah
berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi.
Hingga Nabi menemui Allah Ta’ala pada awal 11 Hijrah. Setelah itupun
Bilal menyatakan diri tak mau mengumandangkan adzan lagi. Ketika
Khalifah Abu Bakar memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati
pilu nan sendu bilal berkata, “Biarkan aku jadi mu’adzin Nabi saja. Nabi
telah tiada, maka aku bukan mu’addzin siapa-siapa lagi.”
Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya, “Dahulu, ketika
engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau
membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?” Abu Bakar terdiam.
“Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi
mu’adzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka
biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar pun tak bisa lagi
mendesak Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.
Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi, terus mengendap di hati Bilal. Dan
kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan
Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi hadir
dalam mimpi Bilal, dan menegurnya, “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai
Bilal, kenapa engkau
tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?”
Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke
Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan
Nabi.
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi,
pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa,
mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi, Hasan dan Husein.
Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk
kedua cucu Nabi itu. Sebelum salah satu dari keduanya bilang sesuatu
hal, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami?
Kami ingin mengenang kakek kami.”
Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang
melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk
mengumandangkan adzan, meski sekali saja.
Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat, dia naik pada
tempat dahulu biasa dia adzan pada era Nabi. Mulailah dia
mengumandangkan adzan.
Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh
Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang
telah bertahun- tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan
agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh
isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan
para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.
Dan saat bilal mengumandangkan
“Asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat
memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi. Umar
bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak
sanggup meneruskan adzannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang
berderai.
Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi.
Dan adzan itu, adzan yang tak
bisa dirampungkan itu, adalah
adzan pertama Bilal sekaligus adzan terakhirnya semenjak Nabi wafat. Dia
tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan. Sebab kesedihan yang
sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya
dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi.
Karenanya, dia dan bangsanya, tak lagi dipandang remeh oleh bangsa lain,
tak lagi ter-marginal- kan. Sebab kemuliaan seseorang, tidak ditentukan
oleh warna kulitnya, oleh rasnya. Tetapi oleh taqwanya pada Allah
Ta’ala..
0 komentar:
Post a Comment