Pages

13 July 2012

Kisah nyata: Polisi tilang Sri Sultan HB IX

Kota batik Pekalongan di
pertengahan tahun 1960an
menyambut fajar dengan
kabut tipis , pukul setengah
enam pagi polisi muda
Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan
kenaikan pangkat dari agen
polisi kepala menjadi brigadir
polisi sudah berdiri di tepi

posnya di kawasan Soko
dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan
pagi itu menyegarkan
tubuhnya yang gagah
berbalut seragam polisi
dengan pangkat brigadir. Becak dan delman amat
dominan masa itu ,
persimpangan Soko mulai riuh
dengan bunyi kalung kuda
yang terangguk angguk
mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan
dan membelok ke barat
sebuah sedan hitam ber plat
AB melaju dari arah yang
berlawanan dengan arus
becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari
kejauhan ,sementara sedan
hitam itu melaju perlahan
menuju kearahnya. Dengan
sigap ia menyeberang jalan
ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi
membentuk sudut Sembilan
puluh derajat menghentikan
laju sedan hitam itu. Sebuah
sedan tahun lima puluhan
yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti
dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir
Royadin menghampiri sisi
kanan pengemudi dan
memberi hormat. “Selamat pagi!” Brigadir
Royadin memberi hormat
dengan sikap sempurna .
“Boleh ditunjukan rebuwes!”
Ia meminta surat surat mobil
berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca ,
jaman itu surat mobil masih
diistilahkan rebuwes. Perlahan , pria berusia sekitar
setengah abad menurunkan
kaca samping secara penuh. “Ada apa pak polisi ?” Tanya
pria itu. Brigadir Royadin
tersentak kaget , ia mengenali
siapa pria itu . “Ya Allah…
sinuwun!” kejutnya dalam
hati . Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung
sedetik , naluri polisinya tetap
menopang tubuh gagahnya
dalam sikap sempurna. “Bapak melangar verbodden ,
tidak boleh lewat sini, ini satu
arah !” Ia memandangi pria itu
yang tak lain adalah Sultan
Jogja, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang sebesar
sultan HB IX mengendarai
sendiri mobilnya dari jogja ke
pekalongan yang jauhnya
cukup lumayan., entah
tujuannya kemana. Setelah melihat rebuwes ,
Brigadir Royadin
mempersilahkan Sri Sultan
untuk mengecek tanda
larangan verboden di ujung
jalan , namun sultan menolak. “ Ya ..saya salah , kamu
benar , saya pasti salah !”
Sinuwun turun dari sedannya
dan menghampiri Brigadir
Royadin yang tetap
menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. “ Jadi…?” Sinuwun bertanya ,
pertanyaan yang singkat
namun sulit bagi brigadir
Royadin menjawabnya . “Em..emm ..bapak saya
tilang , mohon maaf!” Brigadir
Royadin heran , sinuwun tak
kunjung menggunakan
kekuasaannya untuk paling
tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu ,
mengenalkan dirinya sebagai
pejabat Negara dan Rajapun
beliau tidak melakukannya. “Baik..brigadir , kamu
buatkan surat itu , nanti saya
ikuti aturannya, saya harus
segera ke Tegal !” Sinuwun
meminta brigadir Royadin
untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan
bergetar ia membuatkan surat
tilang, ingin rasanya tidak
memberikan surat itu tapi
tidak tahu kenapa ia sebagai
polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan
yang terjadi di depan
hidungnya. Yang paling
membuatnya sedikit tenang
adalah tidak sepatah katapun
yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan
bahwa dia berhak
mendapatkan dispensasi.
“Sungguh orang yang
besar…!” begitu gumamnya. Surat tilang berpindah
tangan , rebuwes saat itu
dalam genggamannya dan ia
menghormat pada sinuwun
sebelum sinuwun kembali
memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Beberapa menit sinuwun
melintas di depan stasiun
pekalongan, brigadir royadin
menyadari kebodohannya,
kekakuannya dan segala
macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda
ontelnya mengejar Sedan
hitam itu tapi manalah
mungkin. Nasi sudah menjadi
bubur dan ketetapan hatinya
untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun
berhasil menghibur dirinya. Saat aplusan di sore hari dan
kembali ke markas , Ia
menyerahkan rebuwes
kepada petugas jaga untuk
diproses hukum lebih
lanjut.,Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu
tuanya. Saat apel pagi esok harinya ,
suara amarah meledak di
markas polisi pekalongan ,
nama Royadin diteriakkan
berkali kali dari ruang
komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh
menghampirinya dan
memintanya menghadap
komisaris polisi selaku kepala
kantor. “Royadin , apa yang kamu
lakukan ..sa’enake dewe ..ora
mikir ..iki sing mbok tangkep
sopo heh..ngawur..ngawur!”
Komisaris mengumpat dalam
bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun
pindah dari telapak kanan
kekiri bolak balik. “ Sekarang aku mau Tanya ,
kenapa kamu tidak lepas saja
sinuwun..biarkan lewat,
wong kamu tahu siapa dia ,
ngerti nggak kowe sopo
sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya. “ Siap pak , beliau tidak bilang
beliau itu siapa , beliau ngaku
salah ..dan memang salah!”
brigadir Royadin menjawab
tegas. “Ya tapi kan kamu mestinya
ngerti siapa dia ..ojo kaku
kaku , kok malah mbok
tilang..ngawur ..jan
ngawur….Ini bisa panjang ,
bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala
polisi dijabat oleh Menteri
Kepolisian Negara. Brigadir Royadin pasrah ,
apapun yang dia lakukan
dasarnya adalah posisinya
sebagai polisi , yang disumpah
untuk menegakkan peraturan
pada siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala)
kedengarannya. Kepala polisi pekalongan
berusaha mencari tahu dimana
gerangan sinuwun , masih di
Tegalkah atau tempat lain?
Tujuannya cuma satu ,
mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini
yang demikian mudahnya
bertukar kabar , keberadaa
sinuwun tak kunjung
diketahui hingga beberapa
hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus
beberapa petugas ke Jogja
untuk mengembalikan
rebuwes tanpa mengikut
sertakan Brigadir Royadin. Usai mendapat marah ,
Brigadir Royadin bertugas
seperti biasa , satu minggu
setelah kejadian penilangan,
banyak teman temannya
yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya
akan dimutasi ke pinggiran
kota pekalongan selatan. Suatu sore , saat belum habis
jam dinas , seorang kurir
datang menghampirinya di
persimpangan soko yang
memintanya untuk segera
kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi
menggiringnya keruang
komisaris yang saat itu
tengah menggengam
selembar surat. “Royadin….minggu depan
kamu diminta pindah !” lemas
tubuh Royadin , ia
membayangkan harus
menempuh jalan menanjak
dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini,
karena ketegasan sikapnya
dipersimpangan soko . “ Siap pak !” Royadin
menjawab datar. “Bersama keluargamu semua,
dibawa!” pernyataan
komisaris mengejutkan ,
untuk apa bawa keluarga
ketepi pekalongan selatan , ini
hanya merepotkan diri saja. “Saya sanggup setiap hari
pakai sepeda pak komandan,
semua keluarga biar tetap di
rumah sekarang !” Brigadir
Royadin menawar. “Ngawur…Kamu sanggup
bersepeda pekalongan –
Jogja ? pindahmu itu ke jogja
bukan disini, sinuwun yang
minta kamu pindah tugas
kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!”
Cetus pak komisaris ,
disodorkan surat yang ada
digengamannya kepada
brigadir Royadin. Surat itu berisi permintaan
bertuliskan tangan yang
intinya : “ Mohon dipindahkan
brigadir Royadin ke Jogja ,
sebagai polisi yang tegas saya
selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di
wilayah Jogjakarta bersama
keluarganya dengan meminta
kepolisian untuk menaikkan
pangkatnya satu tingkat.”
Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX. Tangan brigadir Royadin
bergetar , namun ia segera
menemukan jawabannya. Ia
tak sangup menolak
permntaan orang besar seperti
sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan
seluruh hidupnya di kota
pekalongan .Ia cinta
pekalongan dan tak ingin
meninggalkan kota ini . “ Mohon bapak sampaikan ke
sinuwun , saya berterima
kasih, saya tidak bisa pindah
dari pekalongan , ini tanah
kelahiran saya , rumah saya .
Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan
permintaan maaf saya pada
beliau atas kelancangan saya !”
Brigadir Royadin bergetar , ia
tak memahami betapa
luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya
diperolehnya dari sang
komisaris namun
penghargaan tinggi justru
datang dari orang yang
menjadi korban ketegasannya. July 2010 , saat saya
mendengar kepergian
purnawirawan polisi Royadin
kepada sang khalik dari
keluarga dipekalongan , saya
tak memilki waktu cukup untuk menghantar
kepergiannya . Suaranya yang
lirih saat mendekati akhir
hayat masih saja
mengiangkan cerita
kebanggaannya ini pada semua sanak family yang
berkumpul. Ia pergi
meninggalkan kesederhanaan
perilaku dan prinsip kepada
keturunannya , sekaligus
kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya
di kepolisian Pekalongan tetap
ia jaga sampai akhir masa
baktinya , pangkatnya tak
banyak bergeser terbelenggu
idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu
ketegasan dan kejujuran . Hormat amat sangat
kepadamu Pak Royadin, Sang
Polisi sejati . Dan juga kepada
pahlawan bangsa Sultan
Hamengkubuwono IX yang
keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang
sampai merauke. Depok June 25′ 2011
Aryadi Noersaid Sumber. jogjakini.wordpress.com

0 komentar:

Post a Comment