Pages

10 July 2012

Cerpen: Ternyata suamiku tak mau mati demi aku

Suami ku adalah seorang
insinyur, aku mencintai
sifatnya yg alami & aku
menyukai perasaan hangat yg
muncul dihatiku, ketika aku

bersandar di bahunya yg bidang. 3th dalam masa
perkenalan dan 2th dalam
masa pernikahan harus aku
akui, bahwa aku mulai lelah,
alasan-alasanku yg dulu
mencintainya mulai berubah menjadi sesuatu yg
menjemukan. Aku seorang wanita yg
sentimentil, aku merindukan
saat-saat romantis seperti
seorang anak yg
menginginkan permen. Tetapi
semua itu tidak pernah aku dapatkan. Suamiku jauh
berbeda dari yg aku
harapkan. Rasa sensitifnya
kurang. Dan
ketidakmampuannya dalam
menciptakan suasana romantis dalam pernikahan
kami telah mementahkan
semua harapanku akan cinta
yg ideal. Suatu hari aku beranikan diri
untuk mengatakan
keputusanku kepadanya,
bahwa aku menginginkan
perceraian. “Mengapa?” dia bertanya
dengan terkejut. “Aku lelah, kamu tidak
pernah bisa memberikan cinta
yg aku inginkan.” Dia terdiam dan termenung
sepanjang malam di depan
komputernya. Tampak
seolah-olah sedang
mengerjakan sesuatu, padahal
tidak. Kekecewaanku semakin bertambah, seorang
pria yg bahkan tidak dapat
mengekspresikan
perasaannya. Apalagi yg bisa
aku harapkan darinya? Dan akhirnya dia
bertanya.”Apa yg aku dapat
lakukan untuk merubah
pikiranmu?” Aku menatap matanya
dalam-dalam. Kujawab dengan pelan, “Aku
punya pertanyaan, jika kau
dapat menemukan
jawabannya di dalam hatiku,
aku akan merubah
pikiranku.” “Seandainya, aku menyukai
setangkai bunga indah yg ada
di tebing gunung dan kita
berdua tahu Jika kamu
memanjat gunung itu, kamu
akan mati, Apakah kamu akan melakukannya
untukku?” Dia termenung dan akhirnya
berkata, “Aku akan
memberikan jawabannya
besok.” Hatiku langsung gundah
mendengar responnya.
Keesokan paginya, dia sudah
tidak ada dirumah. Dan aku
menemukan selembar kertas
dengan coret-coret tangannya
dibawah sebuah gelas yg
berisi susu hangat yg bertuliskan…. “Sayang, aku tidak akan
mengambil bunga itu
untukmu, tetapi ijinkan aku
menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini
menghancurkan hatiku. Aku
melanjutkan untuk
membacanya. “Kamu bisa (boleh) mengetik
di komputer dan selalu
mengacaukan program di PC-
nya. Dan akhirnya menangis
di depan monitor, dengan
sepenuh hati aku akan memberikan jari-jariku untuk
membantumu dan
memperbaiki programnya.” “Kamu selalu lupa membawa
kunci rumah ketika kamu
keluar rumah, dengan tulus
aku pasti akan memberikan
kakiku supaya bisa
mendobrak pintu dan membukakan pintu untukmu
ketika pulang.” “Kamu suka jalan-jalan ke luar
kota, tapi selalu nyasar
ditempat-tempat yg baru
kamu kunjungi, aku sudah
pasti akan menunggu dirumah
memberikan mataku untuk mengarahkanmu.” “Kamu selalu pegal-pegal pada
waktu “teman baikmu”
datang setiap bulannya. Dan
aku pasti akan memberikan
tanganku untuk memijat
kakimu yg pegal.” “Kamu senang diam dirumah.
Dan aku selalu menjadi
khawatir kamu akan menjadi
“aneh”. Maka aku akan
membelikan sesuatu untuk
dapat menghiburmu dirumah atau meminjamkan lidahku
untuk menceritakan hal-hal
lucu yg ku alami.” “Kamu selalu menatap
komputermu dan membaca
buku. Itu tidak baik untuk
kesehatan matamu. Maka aku
harus menjaga mataku agar
ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong
mengguntingkan kukumu
dan mencabuti ubanmu.” “Tanganku akan memegang
tanganmu, membimbingmu
menelusuri pantai, menikmati
matahari pagi dan pasir yg
indah. Menceritakan warna-
warna bunga yg bersinar indah seperti cantiknya
wajahmu.” “Tapi sayangku…, aku tidak
akan mengambil bunga itu
untuk mati. Karena aku tidak
sanggup melihat air matamu
mengalir menangisi
kematianku.” “Sayangku aku tahu, ada
banyak orang yg bisa
mencintaimu lebih dari aku
mencintaimu.” “Untuk itu sayang… jika
semua yg telah diberikan
tanganku, kakiku, mataku,
tidak cukup bagimu. Aku
tidak bisa menahan dirimu
mencari tangan, kaki dan mata yg lain yg dapat
membahagiakanmu.” Air mataku jatuh ke atas
tulisannya dan membuat
tintanya menjadi kabur,
tetapi aku tetap berusaha
untuk membacanya. “Dan sekarang, sayangku…
kamu telah selesai membaca
jawabanku. Jika kamu puas
dengan semua jawaban ini
dan tetap menginginkanku
untuk tinggal di rumah ini.. tolong bukakan pintu rumah
kita. Aku sekarang sedang
berdiri di sana dan menunggu
jawabanmu.” “Jika kamu tidak
puas,sayangku… biarkan aku
masuk untuk membereskan
barang-barangku dan aku
tidak akan mempersulit
hidupmu. Percayalah,bahagiaku bila kau
bahagia.” Aku segera berlari membuka
pintu dan melihatnya berdiri
di depan pintu dengan wajah
penasaran sambil tangannya
memegang susu dan roti
kesukaanku. Oh My Good! Dan kini aku tahu.. tidak ada
orang yg pernah mencintaiku
lebih dari dia mencintaiku.” Itulah cinta, di saat kita
merasa cinta itu telah
berangsur-angsur hilang
dari hati kita karena kita
merasa dia tidak dapat
memberikan cinta dalam wujud yg kita inginkan.
Sesungguhnya dia telah
hadir dalam wujud yg
lain yg tidak pernah kita
bayangkan sebelumnya. Yang kita butuhkan
adalah memahami
wujud cinta dari
pasangan kita bukan
mengharapkan cinta
dalam wujud tertentu…

0 komentar:

Post a Comment