Pages

28 July 2012

Cerpen: Mereka toh tak membikin malaikat

Cerpen: Herman Selembar perjalanan; secarik
catatan; sekeranjang dosa.
Manakah yang pertama kali
ditanyakan kelak di akhirat?

Ada orang yang setiap selesai
solat berjemaah menghitung pahalanya; kali ini duapuluh
tujuh katanya. Lalu dia
merasa telah menjadi
malaikat. Ada yang tidak mau
berjemaah tapi hanya
menangis di rumahnya; aku malu padaNya bisiknya.
Terlalu banyak dosa katanya,
sehingga menghadap Tuhan
pun malu. Dia merasa telah
terkutuk dan menjelma iblis.
Ada juga yang setelah selesai tahajjud; menangis kemudian
tak henti-hentinya memohon
ampunan. Mungkin inilah dia
yang disebut manusia!
Seperti hari kemarin, saat ini
penyesalan mesti datang kembali. Membuat semak-
semak liar tempat bermain
belalang dan serangga. Angin
berkesiur. Belalang dan
serangga berpegang semakin
erat pada ranting-ranting. Di luar, burung-burung dara
melibaskan diri dengan dzikir
senja. Matahari memerah. Laut
meredam marah. Nelayan-
nelayan berangkat
menantang keruh. Apakah badai dan pekat malam yang
kau saksikan bukan keruh
kehidupan? Tak mengapa!
Bagi nelayan, badai dan pekat
malam adalah nafas mereka. *****
Malam berjalan sangat pelan.
Gerimis yang rajin
menyambangi bumi, kini telah
terdengar kaki-kakinya di
seng rumah. Ayam-ayam betina mendekap anak-anak
mereka lebih kencang dan
erat. Lolongan anjing, suara
jangkrik, mengiringi cahaya-
cahaya kilat yang
menyambar. Seperti lampu disko di diskotek.
Alun-alun kota tak pernah
sepi. Setiap pojok adalah
tempat yang aman bagi
sebuah perselingkuhan.
Apakah yang bisa kau katakan, ketika melihat anak-
anak jalanan yang mencoba
meraih sebuah bahagia dengan
melelapkan diri di trotoar
jalan. Mimpi! Bahkan dalam
mimpi pun, mereka tak pernah bisa makan kenyang.
Ahai…dunia bagi mereka
adalah ajang malapetaka.
Tapi…tapi….ada rupa lain yang
kini dipergunjingkan. Malaikat
yang hendak membikin malaikat. Ahai…apakah
memang ada beberapa Tuhan
di alam ini, hingga semakin
hari, jumlah malaikat semakin
bertambah?
Malaikat-malaikat itu berpakaian putih. Turun dari
langit yang bersih. Langit
yang tak pernah bisa bisa
ditembus dengan roket
manapun. Mereka turun
membawa risalah Tuhan; dibekali jaring-jaring (seperti
sarang laba-laba), beberapa
ayat suci, juga pedang yang
wangi seperti melati. Apakah
mereka datang membawa
mati beraroma melati? Entahlah! Dan lihatlah, mereka
sedang memasang jaring-
jaring di setiap perempatan
jalan. Di seluruh kota! Mimpi
apalagi saat ini. Bukan mimpi!
Tapi apakah mereka tidak kasihan kepada manusia yang
harus merangkak di setiap
arus jalan. Jalan raya macet
total. Mobil tidak bisa
bergerak. Jaring itu
(walaupun mirip sarang laba- laba!), tidaklah serapuh sarang
laba-laba. Jaring-jaring itu
disulam dengan tangan-
tangan ahli surga. Surga!
Apakah setiap manusia
mempercakapkan dirinya sebagai ahli surga. Tapi
malaikat-malaikat itu?
Setiap kota kini telah
diselimuti jaring-jaring
malaikat. Malaikat
menghalangi maksiat. Aroma api tercium dari lenguhan iblis.
Serasa bumi akan dilumatkan
dalam kebakaran besar.
Manusia tak pernah tahu atau
jangan-jangan tak mau tahu,
bagaimana seharusnya menghadapi iblis dan malaikat
dalam waktu yang sama.
Atau memang manusia adalah
bunglon. Malaikat di satu
waktu. Dan iblis di
kesempatan yang lain. Aku tak mengerti. Karena aku
tidak tahu, dalam bentuk
apakah aku berwujud
sekarang ini. Ibliskah?
Malaikat? Manusia? Tuhan?
Bukan! Bukan Tuhan. Tuhan tidak akan pernah
mengijinkan siapa saja, apa
pun juga, sebagai sainganNya!
“Bagaimana? Kalian yakin
sudah memasang jaringnya di
setiap sudut kota? Ingat! Perintah Tuhan harus kita
jalankan dengan hikmat dan
penuh tanggung jawab.
Jangan seperti koruptor-
koruptor laknat! Maksiat
harus kita singkirkan dari pelataran bumi ini. Orang-
orang yang tidak mau
menuruti kita, berarti harus
segera hengkang ke neraka.”
Pimpinan malaikat itu
berbicara lantang di depan anak buahnya. Dan iblis pun
tertawa.
“Ha…ha…ha…! Apa dia kira
surga dan neraka milik nenek
moyangnya. Bicara seenak
perut. Mau mengirim orang- orangku ke neraka. Tidak
semudah itu kawan! Kita akan
membuat perhitungan. Kita
akan lihat siapa yang lebih
berkuasa.” Iblis menyudahi
ocehannya sambil menyeruput segelas wiski
ditemani gadis cantik yang
seksi.
“Kalau ada yang terperangkap
ke jaring-jaring itu kita
apakan? Kita biarkan saja seperti layang-layang yang
enggan diterbangkan angin,
atau ada opsi lain yang harus
dijalankan?” Anak buah
malaikat bertanya.
“Jangan biarkan mereka tergantung di sana. Berikan
pelayanan yang baik. Supaya
mereka tahu bahwa menjadi
malaikat sungguh nikmat
sekali rasanya.”
”Kita akan mengubah mereka menjadi malaikat?” Heran dan
hampir tak percaya.
”Kita akan menyulap seluruh
penghuni alam ini menjadi
malaikat!” Tegas dan penuh
percaya diri. “Apakah mungkin?”
“Segalanya mungkin. Dan
besok lihatlah! Koran-koran
akan menurunkan berita
tentang penduduk bumi yang
telah berubah menjadi malaikat.”
*****
Hari-hari pun berjalan. Orang-
orang ramai membicarakan
jaring-jaring malaikat yang
telah membuat banyak manusia terperangkap.
Manusia yang terperangkap
dalam jaring-jaring itu adalah
para pelaku pasar dosa;
pemaksiat yang harus
diproduksi menjadi malaikat. Bumi semakin kelihatan sepi.
Ruas-ruas jalan lengang.
Lampu-lampu disko, di tempat
hiburan malam hilang. Iblis
kini benar-benar linglung
memikirkan kawan-kawanya yang lenyap ditelan jaring
malaikat.
Langit putih bersih. Awan-
awan berarakan seperti kapas
yang beterbangan. Angin
bertiup perlahan. Bunga- bunga bermekaran. Melati dan
seroja, juga mawar
meningkap selendangnya.
Sementara jaring-jaring
malaikat itu, kini benar-benar
telah penuh dengan manusia. Barangkali sembilanpuluh
persen penduduk bumi adalah
pelanggan dosa! Hitung saja,
dari tempat terkecil di kantor
kelurahan yang pengap
sampai ruang presiden yang sejuk ber-AC, berisi maling.
Apalagi jika ditambah dengan
jumlah penghuni jalan yang
selalu berlari tergesa
menjelang malam. Mereka
yang tidak punya apa-apa. Mereka yang dilumpuhkan
oleh sistim. Mereka yang
dirampok para penguasa. Tak
punya sesuatu apapun untuk
diperjual-belikan, selain harga
diri termasuk di dalamnya badan yang indah dan
menawan.
Bukan saja iblis yang linglung
karena kehilangan sahabat-
sahabatnya, bahkan malaikat-
malaikat yang memasang jaring juga bingung mati
kepalang. Bagaimana
mungkin akan mampu
menyulap sedemikian banyak
manusia menjelma malaikat.
Bahkan sebagian besar anak buahnya; yang turut andil
dalam aksi jaring suci juga
terjaring oleh jaring sendiri.
Kualat dan laknat!
Mengkhianati diri sendiri demi
nafsu serakah. Mereka yang menjaring para pemaksiat
juga diam-diam menyimpan
hasrat dosa yang berkobar.
Jadilah mereka, malaikat
beringas. Menumpas segala
apa saja tanpa ampun. Bahkan anak-anak jalanan yang tak
berdosa dan tak tahu apa-apa
mereka pukuli dengan
semena-mena.
Bumi benar-benar telah sepi.
Tidak ada lagi suara desahan yang bikin merangsang.
Lenyap juga cekikikan para
wanita pekerja kenikmatan di
warung remang-remang (di
hotel barangkali tak mungkin
terjaring!). Hilang juga desah para brondong yang
menunggu tante-tante
kesepian yang minta
dikunjungi menjelang tengah
malam. Tak ada juga suara
para penegak hukum yang minta suap lebih banyak. Para
koruptor tak lagi nampak
lenggang kakung di kantor-
kantor pemerintahan.
Manusia, iblis, setan, dedemit,
bunian, makhluk-makhluk halus lainnya, bahkan juga
kepala pimpinan malaikat
yang memasang jaring, kini
terjerat dalam jaring.
Sandiwara apalagi yang
berlaku. Benar-benar membingungkan.
Malaikat itu kini diam dan
bisu. Hilang sudah segala
harapnya. Tak berbekas juga
semua rasa percaya diri yang
dulu memompa semangatnya untuk mengobarkan perang.
Mampus gugur. Dan dia sendiri
tak tahu mesti berbuat
apalagi. Jaring yang mereka
buat terlalu kuat. Semua tak
bisa bergerak. Sementara bau pesing dan amis karena
beberapa hari terjaring,
kencing, berak, mungkin juga
mimpi basah di tempat yang
sama, menusuk hidung,
membuat kepala pening. Ah… malaikat yang hendak
membikin malaikat! Membuat
jaring bagi kematian diri
sendiri. Mencoba mencari
solusi bertaubat, sayang diri
sendiri tertipu dengan pesona maksiat. Gelap dan pekat.
Apakah dunia benar-benar
akan kiamat. Gerimis tak juga
reda, sementara api
bergejolak dalam diri. Dosa
apalagi yang hendak kita perselingkuhkan dalam hidup
yang mesum ini? Ifrit
menjerit disambut tepuk
tangan bergemuruh.

0 komentar:

Post a Comment