Pages

28 July 2012

Ciuman terakhir

Rapat Direksi baru saja
berakhir. Bob mulai bangkit
berdiri dan menyenggol meja
sehingga kopi tertumpah

keatas catatan-catatannya. “Waduhhh,memalukan sekali
aku ini, diusia tua kok tambah
ngaco..” Semua orang ramai tergelak
tertawa, lalu sebentar
kemudian, kami semua mulai
menceritakan Saat-saat yang
paling menyakitkan dimasa
lalu dulu. Gilirannya kini sampai pada
Frank yang duduk terdiam
mendengarkan kisah lain-
lainnya. “Ayolah Frank, sekarang
giliranmu. Cerita dong, apa
saat yang paling tak enak
bagimu dulu.” Frank tertawa,
mulailah ia berkisah masa
kecilnya. “Aku besar di San Pedro.
Ayahku seorang nelayan, dan
ia cinta amat pada lautan. Ia
punya kapalnya sendiri, meski
berat sekali mencari mata
pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap
tinggal di laut sampai ia
menangkap cukup ikan untuk
memberi makan keluarga.
Bukan cuma cukup buat
keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya
dan saudara-saudara lainnya
yang masih di rumah.” Ia menatap kami dan berkata,
“Ahhh, seandainya kalian
sempat bertemu ayahku. Ia
sosoknya besar, orangnya
kuat dari menarik jala dan
memerangi lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat
saja padanya, wuih, bau dia
sudah mirip kayak lautan. Ia
gemar memakai mantel cuaca-
buruk tuanya yang terbuat
dari kanvas dan pakaian kerja dengan kain penutup
dadanya. Topi penahan
hujannya sering ia tarik turun
menutupi alisnya. Tak perduli
berapapun ibuku mencucinya,
tetap akan tercium bau lautan dan amisnya ikan.” Suara Frank mulai merendah
sedikit. “Kalau cuaca buruk, ia akan
antar aku ke sekolah. Ia
punya mobil truk tua yang
dipakainya dalam usaha
perikanan ini. Truk itu bahkan
lebih tua umurnya daripada ayahku. Bunyinya meraung
dan berdentangan sepanjang
perjalanan. Sejak beberapa
blok jauhnya kau sudah bisa
mendengarnya. Saat ayah
bawa truk menuju sekolah, aku merasa menciut ke dalam
tempat duduk, berharap
semoga bisa menghilang.
Hampir separuh perjalanan,
ayah sering mengerem
mendadak dan lalu truk tua ini akan menyemburkan
suatu kepulan awan asap. Ia
akan selalu berhenti di depan
sekali, dan kelihatannya setiap
orang akan berdiri
mengelilingi dan menonton. Lalu ayah akan
menyandarkan diri ke depan,
dan memberiku sebuah
ciuman besar pada pipiku dan
memujiku sebagai anak yang
baik. Aku merasa agak malu, begitu risih. Maklumlah, aku
sebagai anak umur dua-belas,
dan ayahku menyandarkan
diri kedepan dan menciumi
aku selamat tinggal!” Ia berhenti sejenak lalu
meneruskan, “Aku ingat hari
ketika kuputuskan aku
sebenarnya terlalu tua untuk
suatu kecupan selamat
tinggal. Waktu kami sampai kesekolah dan berhenti,
seperti biasanya ayah sudah
tersenyum lebar. Ia mulai
memiringkan badannya
kearahku, tetapi aku
mengangkat tangan dan berkata, ‘Jangan, ayah.’ Itu
pertama kali aku berkata
begitu padanya, dan wajah
ayah tampaknya begitu
terheran. Aku bilang, ‘Ayah, aku sudah
terlalu tua untuk ciuman
selamat tinggal. Sebetulnya sudah terlalu tua
bagi segala macam kecupan.’ Ayahku memandangiku
untuk saat yang lama sekali,
dan matanya mulai basah. Belum pernah kulihat dia
menangis sebelumnya. Ia
memutar kepalanya,
pandangannya menerawang
menembus kaca depan. ‘Kau
benar,’ katanya. ‘Kau sudah jadi pemuda
besar……seorang pria. Aku tak
akan menciumimu lagi.’” Wajah Frank berubah jadi
aneh, dan air mata mulai
memenuhi kedua matanya,
ketika ia melanjutkan
kisahnya. “Tidak lama setelah
itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali lagi. Itu
terjadi pada suatu hari, ketika
sebagian besar armada kapal
nelayan merapat dipelabuhan,
tapi kapal ayah tidak.Ia
punya keluarga besar yang harus diberi makan. Kapalnya ditemukan terapung
dengan jala yang separuh
terangkat dan separuhnya lagi
masih ada dilaut.Pastilah ayah
tertimpa badai dan ia mencoba
menyelamatkan jala dan semua pengapung-
pengapungnya.” Aku mengawasi Frank dan
melihat air mata mengalir
menuruni pipinya. Frank menyambung lagi,
“Kawan-kawan, kalian tak
bisa bayangkan apa yang
akan kukorbankan sekedar
untuk mendapatkan lagi
sebuah ciuman pada pipiku….untuk merasakan
wajah tuanya yang
kasar……untuk mencium bau
air laut dan samudra
padanya…..untuk merasakan
tangan dan lengannya merangkul leherku. Ahh,
sekiranya saja aku jadi pria
dewasa saat itu. Kalau aku
seorang pria dewasa, aku
pastilah tidak akan pernah
memberi tahu ayahku bahwa aku terlalu tua ‘tuk sebuah
ciuman selamat tinggal.” Semoga kita tidak menjadi
terlalu tua untuk
menunjukkan cinta kasih
kita…..

0 komentar:

Post a Comment