Pages

17 July 2012

Mimpi berwarna kelabu

Cerpen: Rama Dira J DI SUATU subuh yang
berkabut, mendadak Maharani
terpental ke dalam sepenggal
mimpi berwarna kelabu.
Semesta kelabu dan segenap
isinya juga kelabu. Sisa bulan purnama kelabu,
menggelantung di langit
kelabu dengan sinar
bergeletar karena tertiup
angin yang tentunya kelabu.
Embun-embun kelabu menetes dari ujung dedaunan
kelabu, untuk kemudian jatuh
ke tanah yang kelabu.
Demikianlah, seluruhnya
adalah kelabu. Di tengah-tengah tanah lapang
itu, Maharani melihat ada
sekumpulan lelaki yang
semuanya berikat kepala,
tengah duduk bersila
mengelilingi seorang paling tua yang memegang cawan di
kedua tangan sambil
merapalkan serangkaian
mantra. Angin lembah yang tak henti
bertiup terasa membunuh
dinginnya. Namun, tak ada di
antara orang-orang itu yang
merasakan perihnya irisan-
irisan tajam angin itu pada kulit kelabu mereka,
sebagaimana Maharani. Maharani memerhatikan
mereka satu-satu tapi tak ada
wajah kelabu yang bisa
dikenalnya, kecuali satu,
wajah suaminya. Maharani
berusaha mendekat, memegang bahu laki-laki itu,
“Mengapa di sini?” Nyongka seperti tak lagi
mengenalinya. Matanya
marah, sempat memandang
sekejap padanya untuk
kemudian berpaling, kembali
memejam, terbuai dalam dengung mantra milik sang
perapal. Maharani tak segera
meninggalkan tempat itu
sampai pada penghujung
mantra dan orang-orang itu
kemudian secara bergiliran
meminum cairan darah dalam cawan, yang warnanya
tidaklah merah sebab seperti
sudah ditakdirkan, semua
yang ada di dalam mimpi itu
berwarna kelabu semata. Usai semuanya mendapat
giliran, mereka mulai
meraung, memukul-mukul
tanah, berdiri, mengambil
pedang masing-masing, lantas
terbang satu-satu bersama angin yang menghembus ke
arah pemukiman suku Radu,
di kampung sebelah. Mimpi itu belum tuntas ketika
Maharani mendapati tubuhnya
telah basah peluh, masih
terbaring di dalam pelukan
Nyongka. Hembusan napas
hangat milik sang suami yang baru menikahinya dua
minggu yang lalu itu terus
menyapu tengkuknya,
membuat bulu-bulu halus di
sana bergeletar. Maharani berusaha bangkit
menuju jendela, membuka
dua daunnya. Ia melihat,
semesta di luar yang
menyungkup pemukiman
suku Radu itu masihlah larut dalam pekat sisa malam. Ia
tak lagi bisa memejam
kembali sebab pikirannya
terus menerawang, menerka-
nerka apa gerangan yang
dibawa oleh mimpi itu, sampai matahari muncul dari balik
perbukitan. Bertahun-tahun sebelumnya,
sebelum menikah dengan
Nyongka, ia memang pernah
mendengar, ritual semacam
yang ada di dalam mimpinya
itu adalah ritual yang biasa dilakukan suku Ayal sebelum
berangkat menuju medan
perang. Sebagai orang Ayal,
Nyongka pernah
menceritakan pada Maharani
(Maharani adalah keturunan suku Radu, sedangkan
Nyongka adalah keturunan
suku Ayal yang memutuskan
untuk bermukim di
pemukiman suku Radu
setelah menikahi Maharani) bahwa sebelum berangkat
perang, kaum laki-laki suku
Ayal biasanya melakukan
ritual cawan merah. Mereka
berkumpul untuk meminum
secara bergiliran darah hewan yang ditampung dalam satu
cawan sebagai upaya untuk
mendatangkan kekuatan,
sebab setelah usai meminum
darah itu, maka roh yang ada
di dalam tubuh si peminumnya bukan lagi roh
mereka sendiri tapi sudah
menjelma menjadi roh perang.
Jika sudah kemasukan roh ini,
mereka adalah sosok yang
baru, prajurit perang yang tak terkalahkan, tak bisa mati,
sebab mereka memiliki
berlapis-lapis nyawa. ***** SEBAGAIMANA malam-
malam sebelumnya, malam ini
Maharani termenung bimbang,
ketika tiba-tiba suaminya
duduk terbangun dan merasa
aneh menemukan fakta bahwa istrinya duduk
membeku di samping dipan
bambu pada saat semestinya
ia tidur pulas sebagaimana
dirinya sebab malam masihlah
pekat. Tak bisa tidak, ia pun bertanya. Mulanya Maharani berusaha
mengelak. Ia menggeleng,
menegaskan tidak terjadi apa-
apa. Namun kemudian,
Nyongka tak segera percaya.
Ia terus mendesak Maharani sampai kemudian bersedia
menceritakan mimpi
berwarna kelabu yang selalu
menyerang tidurnya dalam
malam-malam terakhir ini. Mimpi itu, sungguh
mendatangkan perasaan
mencekam pada Maharani.
Sampai-sampai, segenap
peristiwa yang ada di
dalamnya terasa seperti rekaman gambar nyata yang
terpampang di depan
matanya. Namun, selalu,
mimpi itu tak pernah tuntas.
Tak berujung, hingga
kemudian menyebabkan pikiran Maharani selalu galau,
terpaksa menduga-duga apa
yang akan terjadi sesudah itu. Mendengar itu, Nyongka
seperti tersihir sesuatu.
Perasaannya menjadi
bimbang. Ada semacam
kekhawatiran yang
mendadak menghajarnya apalagi dalam mimpi itu ada
dia bersama segerombolan
lelaki lain, tengah melakukan
ritual cawan merah. “Benarkah itu?” Ia masih
meragukan Maharani. “Tentu! Aku tak mungkin
membual!” “Sungguh aneh…” “Aneh bagaimana?” Nyongka tak menjawab
pertanyaan Maharani. Ia
membatin, ?Bukankah perang
suku sudah lama tak terjadi?
Bukankah ritual cawan merah
sudah lama dibuang?? Pikiran berlanjut menyisir menuju
masa lalu. Kala itu ia masihlah
bocah. Di lembah pemukiman
suku Ayal, ia menyaksikan
sendiri bagaimana Ayahnya
berupaya melerai beberapa lelaki Ayal yang berencana
melakukan ritual cawan
merah sebelum terlibat dalam
perang suku dengan suku
Radu di kampung sebelah.
Seperti biasanya apa yang menjadi penyebab rencana
penyerangan itu adalah
masalah saling mengakui siapa
sesungguhnya yang layak
menempati kawasan lembah
itu seluruhnya. Suku Ayal, sebagai suku asli yang sudah
sejak lama menempati
wilayah lembah itu merasa
lebih berhak untuk tinggal di
sana, sementara suku Radu
yang adalah suku pendatang, tak mau begitu saja pergi
meninggalkan wilayah yang
sudah mereka tempati. Kedua
pihak tak ada yang mau
mengalah, sepakat mengadu
kekuatan sampai nyawa pungkas. Siapa yang tak mati,
dialah pemilik lembah itu.
Sampai pada perang suku
yang kesekian puluh kalinya,
memang tak ada lelaki dari
suku Ayal yang meninggal dalam perang suku. Korban
yang meninggal semuanya
dari pihak suku Radu. Ketika Ayah Nyongka
menjabat sebagai kepala suku
Ayal baru, dialah yang
kemudian mau mengambil
jalan damai dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi antara dua suku yang
mendiami lembah di kaki
gunung itu. Sebagaimana
yang disaksikan oleh
Nyongka kecil, hal pertama
yang dilakukan oleh Ayah Nyongka adalah mendatangi
kumpulan lelaki yang akan
melakukan ritual cawan
merah tadi. Ia mencoba
menenangkan mereka dan
meyakinkan bahwa penyelesaian masalah dengan
pertumpahan darah itu telah
membuat roh-roh nenek
moyang marah. Para roh
nenek moyang tak mau lagi
tanah lembah ini dikotori oleh anyir darah. Sekelompok lelaki ini tak bisa
menentang apa yang
dikatakan oleh Ayah
Nyongka sebagai kepala suku
yang baru. Mereka juga
mengiyakan rencana Ayah Nyongka untuk mendatangi
kepala suku Radu demi
menawarkan jalan damai,
tidak dengan tumpah darah
sebagaimana lazimnya terjadi. Ayah Nyongka dengan
beberapa lelaki dari
pemukiman suku Ayal
mendatangi pemukiman suku
Radu keesokannya dan
pulang dengan kabar yang melegakan. Telah disepakati
jalan damai. Tanah milik suku
Ayal yang sempat diakui
sebagai milik suku Radu
dikembalikan. Dan sejak saat
itulah suku Radu dan suku Ayal sepakat untuk tak lagi
terlibat dalam perang suku
yang acap kali mengacaukan
kehidupan kedua pihak di
lembah itu. Semenjak itu pula
ritual cawan merah tak lagi dijalankan oleh suku Ayal. “Seharusnya tak ada lagi ritual
cawan merah, meski hanya di
dalam mimpi… “ Pembicaraan suami istri itu tak
berujung pada kepastian.
Kedua-duanya gundah, kedua-
duanya tak bisa memejam
meski mereka telah berusaha. ****** DI suatu subuh lain yang
berkabut, Maharani
terbangun. Ia tak mendapati
Nyongka di sampingnya. Ia
terus mencari-carinya ketika
mendengar ribut-ribut di luar, teriakan-teriakan panik. ”Perang pecah. Perang pecah.
Suku Ayal menyerang…” Perkampungan suku Radu itu
rusuh. Semuanya kacau balau.
Kabarnya, para lelaki suku
Ayal sudah berada di ujung
Selatan perkampungan.
Mereka menyerang membabi buta. Mereka telah membunuh
banyak orang Radu
sementara mereka sendiri, tak
bisa terbunuh. Tanpa
sepengetahuan Maharani,
sehari sebelumnya telah terjadi perebutan tanah antara
beberapa orang suku Ayal
dan suku Radu di wilayah
perbatasan. Tak ada
kesepakatan damai yang
tercapai, hingga pecahlah perang sebagaimana yang
sering terjadi dua puluh tahun
yang lalu. Maharani pun menjadi panik,
apalagi Nyongka tak ada
bersamanya. Belum reda
kepanikan Maharani, ia
mendengar suara keras pada
pintu yang dihasilkan oleh upaya beberapa orang untuk
merobohkannya. Pintu
ambruk dan dari dalam, ia bisa
melihat, segerombolan lelaki
berikat kepala, langsung
memandang tajam padanya. Sebelum lelaki tertua masuk,
Nyongka yang juga serta
dalam rombongan itu,
menghalanginya. ”Perempuan yang satu ini, biar
aku yang membunuhnya.” Lelaki tertua mengalah dan
memberi kesempatan kepada
Nyongka untuk menuntaskan
hasrat membunuhnya meski
sesungguhnya ia sudah
menghabiskan ratusan nyawa milik orang Radu, sebelum
mencapai rumah ini. Dalam
perang suku kali ini, suku
Ayal tak hanya menyerang
kaum lelaki. Mereka
menyerang siapa saja orang yang memiliki aroma tubuh
kas milik suku Radu. Lelaki,
perempuan, anak, bayi,
semuanya. Nyongka melangkah maju,
Maharani mundur dengan
gerak yang tak kuasa
menahan beban badan.
Beberapa kali ia terduduk
untuk kemudian susah payah berusaha bangkit dalam
cekaman perasaan tak
menentu. Maharani berusaha
terus memandang suaminya
dengan sepasang mata yang
mulai berkaca-kaca. Ia tahu pasti, meski itu adalah
Nyongka, roh yang ada di
dalam tubuh itu tak akan
mengenalnya. Sebentar lagi, ia
akan mati dalam tangan orang
yang paling dicintai. Dalam detik-detik terakhir
menjelang Nyongka
menghujamkan pedang ke
tubuhnya, ia hanya pasrah.
Sebenarnya ia ingin
membisikkan ucapan selamat tinggal dengan penuh rasa
sayang. Namun, ia tak segera
bisa melakukannya. Nyongka sudah tak berjarak
dengannya. Namun, Nyongka
tak juga segera
menghujamkan pedang. Ia
justru menarik lengan
Maharani lantas membawanya bergegas menerobos pintu
belakang, menaruh kedua
lengan Maharani pada
pundaknya untuk kemudian
ia bawa terbang, terus
meninggi perlahan, melintasi angin, terus menuju ke arah
langit subuh yang tak
berbintang. Di bawah mereka,
terdengar teriakan para lelaki
yang mengumpat,
menyumpahi Nyongka yang telah meloloskan seorang
perempuan suku Radu yang
seharusnya ia bunuh itu. Maharani terus terbang,
melintasi waktu, mengitari
semesta, dengan terus erat di
punggung Nyongka yang
tiba-tiba hilang dan
menyisakan dirinya sendiri, terjatuh ke bawah, dalam
hempasan angin, layaknya
sehelai bulu merpati, terjatuh
perlahan, hingga mencapai
taman bunga yang indah, di
dunia yang entah. Maharani kebingungan mencari. Ia
memandang ke atas, tak juga
bisa menemukan Nyongka di
mana. Mimpi itu usai, Maharani
bangun. Baru kali inilah mimpi
berwarna kelabu itu sampai
pada akhir yang demikian. Ia
puas, ia tersenyum sebab ia
kini telah mengetahui akhir yang sesungguhnya. Namun, senyuman itu segera
berakhir karena tak ada
Nyongka di sampingnya.

0 komentar:

Post a Comment