Pages

28 July 2012

Kisah: Cinta tak pernah padam

Ketika aku berjalan kaki
pulang ke rumah di suatu
hari yang dingin, kakiku
tersandung sebuah dompet
yang tampaknya terjatuh

tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku
memungut dan melihat isi
dompet itu kalau-kalau aku
bisa menghubungi
pemiliknya. Tapi, dompet
itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan
selembar surat kusut yang
sepertinya sudah bertahun-
tahun tersimpan di
dalamnya. Satu-satunya
yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si
pengirim. Aku membuka
isinya sambil berharap bisa
menemukan petunjuk. Lalu aku baca tahun “1924″.
Ternyata surat itu ditulis
lebih dari 60 tahun yang lalu.
Surat itu ditulis dengan
tulisan tangan yang anggun
di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-
bunga kecil di sudut kirinya.
Tertulis di sana, “Sayangku
Michael”, yang
menunjukkan kepada siapa
surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael.
Penulis surat itu
menyatakan bahwa ia tidak
bisa bertemu dengannya
lagi karena ibu telah
melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap
mencintainya. Surat itu
ditandatangani oleh Hannah.
Surat itu begitu indah. etapi tetap saja aku tidak
bisa menemukan siapa nama
pemilik dompet itu.
Mungkin bila aku
menelepon bagian
penerangan mereka bisa memberitahu nomor
telepon alamat yang ada
pada amplop itu. “Operator,”
kataku pada bagian
peneragan, “Saya
mempunyai permintaan yang agak tidak biasa.
sedang berusaha mencari
tahu pemiliki dompet yang
saya temukan di jalan.
Barangkali anda bisa
membantu saya memberikan nomor telepon
atas alamat yang ada pada
surat yang saya temukan
dalam dompet tersebut?” Operator itu menyarankan
agar aku berbicara dengan
atasannya, yang
tampaknya tidak begitu
suka dengan pekerjaan
tambahan ini. Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai
nomor telepon alamat
tersebut, namun kami tidak
bisa memberitahukannya
pada anda.” Demi
kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor
tersebut, menjelaskan apa
yang saya temukan dan
menanyakan apakah
mereka berkenan untuk
berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit. Tak berapa lama ia
menghubungiku, katanya,
“Ada orang yang ingin
berbicara dengan anda.” Lalu
aku tanyakan pada wanita
yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui
seseorang bernama Hannah.
Ia menarik nafas, “Oh, kami
membeli rumah ini dari
keluarga yang memiliki
anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun
yang lalu!” “Apakah anda
tahu dimana keluarga itu
berada sekarang?” tanyaku.
“Yang aku ingat, Hannah
telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo
beberapa tahun lalu,” kata
wanita itu. “Mungkin, bila
anda menghubunginya
mereka bisa mencaritahu
dimana anak mereka, Hannah, berada.” Lalu ia
memberiku nama panti
jompo tersebut. Ketika aku
menelepon ke sana, mereka
mengatakan bahwa wanita,
ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama
meninggal dunia. Tapi
mereka masih menyimpan
nomor telepon rumah
dimana anak wanita itu
tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon
nomor yang mereka
berikan. Kemudian, di ujung
telepon sana, seorang
wanita mengatakan bahwa
Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo. “Semua ini tampaknya
konyol,” kataku pada diriku
sendiri. Mengapa pula aku
mau repot-repot
menemukan pemilik
dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang
ditulis lebih dari 60 tahun
yang lalu? Tapi, bagaimana
pun aku menelepon panti
jompo tempat Hannah
sekarang berada. Seorang pria yang menerima
teleponku mengatakan, “Ya,
Hannah memang tinggal
bersama kami.” Meski
waktu itu sudah
menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar
bisa menemui Hannah. “Ok,”
kata pria itu agak
bersungut-sungut, “bila
anda mau, mungkin ia
sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.” Aku mengucapkan terima
kasih dan segera berkendara
ke panti jompo tersebut.
Gedung panti jompo itu
sangat besar. Penjaga dan
perawat yang berdinas malam menyambutku di
pintu. Lalu, kami naik ke
lantai tiga. Di ruang tengah,
perawat itu
memperkenalkan aku
dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya
keperak-perakan,
senyumnya hangat dan
matanya bersinar-sinar.
Aku menceritakan padanya
mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun
menunjukkan padanya
surat yang ditulisnya.
Ketika ia melihat amplop
surat berwarna biru lembut
dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas
dalam-dalam dan berkata,
“Anak muda, surat ini
adalah hubunganku yang
terakhir dengan Michael.”
Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam.
Katanya dengan lembut,
“Aku amat-amat
mencintainya. Saat itu aku
baru berusia 16 tahun, dan
ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia
sangat tampan. Ia seperti
Sean Connery, si aktor itu.”
“Ya,” lanjutnya. Michael
Goldstein adalah pria yang
luar biasa. “Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa
aku selalu memikirkannya,
Dan,…….” Ia ragu untuk melanjutkan,
sambil menggigit bibir ia
berkata, ……katakan, aku
masih mencintainya.
Tahukah kau, anak muda,”
katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir,
“aku tidak pernah menikah
selama ini. Aku pikir, tak
ada seorang pun yang bisa
menyamai Michael.” Aku
berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan
selamat tinggal. Aku
menuruni tangga ke lantai
bawah. Ketika melangkah
keluar pintu, penjaga di sana
menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu
anda?” Aku sampaikan
bahwa Hannah hanya
memberikan sebuah
petunjuk, “Aku hanya
mendapatkan nama belakang pemilik dompet
ini. Aku pikir, aku biarkan
sajalah dompet ini untuk
sejenak. Aku sudah
menghabiskan hampir
seluruh hariku untuk menemukan pemilik
dompet ini.” Aku keluarkan
dompet itu, dompat kulit
dengan benang merah disisi-
sisinya. Ketika penjaga itu
melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu. Itu adalah
dompet Pak Goldstein! Aku
tahu persis dompet dengan
benang merah terang itu.Ia
selalu kehilangan dompet
itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu
tiga kali di dalam gedung
ini.” “Siapakah Pak Goldstein
itu?” tanyaku. Tanganku
mulai gemetar. “Ia adalah
penghuni lama gedung ini.
Ia tinggal di lantai delapan.
Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia
pasti menjatuhkannya
ketika sedang berjalan-jalan
di luar.” Aku berterima
kasih pada penjaga itu dan
segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan
pada perawat di sana apa
yang telah dikatakan oleh si
penjaga. Lalu, kami kembali
ke tangga dan bergegas ke
lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein
masih belum tertidur.
Ketika sampai di lantai
delapan, perawat berkata,
“Aku pikir ia masih berada
di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia
adalah Pak tua yang
menyenangkan.” Kami
menuju ke satu-satunya
ruangan yang lampunya
masih menyala. Di sana duduklah seorang pria
membaca buku. Perawat
mendekati pria itu dan
menanyakan apakah ia
telah kehilangan dompet.
Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu
meraba saku belakangnya
dan berkata, “Oh ya,
dompetku hilang!” Perawat
itu berkata, “Tuan muda
yang baik ini telah menemukan sebuah
dompet. Mungkin dompet
anda?” Aku menyerahkan
dompet itu pada Pak
Goldstein. Ia tersenyum
gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh
tadi sore. Aku akan
memberimu hadiah.” “Ah
tak usah,” kataku. “Tapi aku
harus menceritakan sesuatu
pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di
dalam dompet itu dengan
harap aku mengetahui
siapakah pemilik dompet
ini.” Senyumnya langsung
menghilang. “Kamu
membaca surat ini?” “Bukan
hanya membaca, aku kira
aku tahu dimana Hannah
sekarang.” Wajahnya tiba- tiba pucat. “Hannah? Kau
tahu dimana ia sekarang?
Bagaimana kabarnya?
Apakah ia masih secantik
dulu? Katakan, katakan
padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih
tetap secantik seperti saat
anda mengenalnya,” kataku
lembut. Lelaki tua itu
tersenyum dan meminta,
“Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang?
Aku akan meneleponnya
esok.” Ia menggenggam
tanganku, “Tahukah kau
anak muda, aku masih
mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa
berhenti. Aku belum pernah
menikah, aku selalu
mencintainya.” “Michael,” kataku, “Ayo
ikuti aku.” Lalu kami
menuruni tangga ke lantai
tiga. Lorong-lorong gedung
itu sudah gelap. Hanya satu
atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan
kami menuju ruang tengah
di mana Hannah masih
duduk sendiri menonton TV.
Perawat mendekatinya
perlahan. “Hannah,” kata perawat itu
lembut. Ia menunjuk ke
arah Michael yang sedang
berdiri di sampingku di
pintu masuk. “Apakah anda
tahu pria ini?” Hannah membetulkan
kacamatanya, melihat
sejenak, dan terdiam tidak
mengucapkan sepatah
katapun. Michael berkata
pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku,
Michael. Apakah kau masih
ingat padaku?” Hannah
gemetar, “Michael! Aku tak
percaya. Michael! Kau!
Michaelku!” Michael berjalan perlahan ke arah Hannah.
Mereka lalu berpelukan.
Perawat dan aku
meninggalkan mereka
dengan air mata menitik di
wajah kami. “Lihatlah,” kataku. “Lihatlah,
bagaimana Tuhan
berkehendak. Bila Ia
berkehendak, maka
jadilah.” Sekitar tiga minggu
kemudian, di kantor aku
mendapat telepon dari
rumah panti jompo itu.
“Apakah anda berkenan
untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu
mendatang? Michael dan
Hannah akan menikah!” Dan
pernikahan itu, pernikahan
yang indah. Semua orang di
panti jompo itu mengenakan pakaian
terbaik mereka untuk ikut
merayakan pesta. Hannah
mengenakan pakaian abu-
abu terang dan tampak
cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan
berdiri tegak. Mereka
menjadikan aku sebagai
wali mereka. Rumah panti
jompo memberi hadiah
kamar bagi mereka. Dan bila anda ingin melihat
bagaimana sepasang
pengantin berusia 76 dan 79
tahun bertingkah seperti
anak remaja, anda harus
melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang
sempurna dari sebuah
hubungan cinta yang tak
pernah padam selama 60
tahun.

0 komentar:

Post a Comment