Pages

17 July 2012

Aku ingin anak lelakiku meniru aku

Ketika lahir, anak lelakiku
gelap benar kulitnya, Lalu
kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar
mirip denganmu ya!” Suamiku menjawab: “Bukankah sesuai
keinginanmu?
Kau yang
bilang kalau anak lelaki ingin
seperti aku.” Aku mengangguk. Suamiku
kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku
mengusulkan perayaannya
dengan mengkhatamkan Al
Quran di rumah Lalu kubilang pada
suamiku: “Supaya ia menjadi penghafal
Kitabullah ya,Yah.” Suamiku menatap padaku
seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.” Bayi kami itu, kami beri nama
Ahmad, mengikuti panggilan
Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai
memanggil-manggil kami
berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu
ia menunjuk pada dirinya seraya berkata:
Ammat! Maksudnya ia
Ahmad. Kami berdua sangat
bahagia dengan kehadirannya. Ahmad tumbuh jadi anak
cerdas, persis seperti papanya.
Pelajaran matematika sederhana sangat mudah
dikuasainya. Ah, papanya
memang jago matematika. Ia
kebanggaan keluarganya. Sekarang pun
sedang S3 di bidang
Matematika. Ketika Ahmad ulang tahun
kelima, kami mengundang
keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad
menjadi bosan dan agak
mengesalkan. Tiba-tiba ia
minta naik ke punggung papanya. Entah apa
yang menyebabkan papanya
begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah
sekolah, sudah terlalu besar
untuk main kuda-kudaan,
atau lantaran banyak tamu dan ia
kelelahan. Badan Ahmad
terhempas ditolak papanya,
wajahnya merah, tangisnya pecah,
Muhammad terluka hatinya di
hari ulang tahunnya kelima. Sejak hari itu, Ahamad jadi
pendiam. Murung ke sekolah,
menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia
menjadi amat mudah marah.
Aku coba mendekati
suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia
sedang menyelesaikan
papernya dan tak mau
diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya. Tahun demi tahun berlalu. Tak
terasa Ahmad telah selesai S1.
Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah
membawakan aku seorang
mantu dan seorang cucu.
Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil
tertawa-tawa lucu: “Subhanallah! Kulitnya gelap,
Mas, persis seperti kulitmu!” Ahmad menoleh dengan
kaku, tampak ia tersinggung
dan merasa malu. “Salahmu. Kamu yang ingin
sendiri, kan. Kalau lelaki ingin
seperti aku!” Di tanganku, terajut ruang
dan waktu. Terasa ada yang
pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah,
bulan berlalu. Kami, nenek dan
kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang
digendong ayahnya. Menangis
ia. Tiba-tiba Ahmad anakku
menyergah sambil berteriak menghentak, “Ah, gimana sih, kok nggak
dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya
bayi mungil itu. Suamiku membaca korannya,
tak tergerak oleh suasana.
Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di
kamar mandi. Aku, wanita
tua, ruang dan waktu kurajut
dalam pedih duka seorang istri dan
seorang ibu. Aku tak sanggup
lagi menahan gelora di dada
ini. Pecahlah tangisku serasa
sudah berabad aku
menyimpannya. Aku rebut
koran di tangan suamiku dan kukatakan
padanya: “Dulu kau hempaskan Ahmad
di lantai itu! Ulang tahun ke
lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di
punggungmu! Dan ketika aku
minta kau perbaiki, kau bilang
kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau
dengar anakmu tadi? Dia tidak
suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!” Allahumma Shalli ala
Muhammad. Allahumma Shalli
alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai
Nabi. Engkau membopong cucu-
cucumu di punggungmu,
engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau
bahkan menengok seorang
anak yang burung
peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata
ketika seorang ibu merenggut
bayinya dari gendonganmu, “Bekas najis ini bisa kuseka,
tetapi apakah kau bisa
menggantikan saraf halus
yang putus di kepalanya?” Aku memandang suamiku
yang terpaku. Aku memandang anakku
yang tegak diam bagai karang
tajam. Kupandangi keduanya,
berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa
dari Rahmat-Mu, ya Allah,
bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku,
meski kaku, kubimbing ia
mendekat kepada Ahmad.
Kubawa tangannya menyisir kepala
anaknya, yang berpuluh
tahun tak merasakan
sentuhan tangan seorang ayah yang didamba. Dada Ahmad berguncang
menerima belaian. Kukatakan
di hadapan mereka berdua, “Lakukanlah ini, permintaan
seorang yang akan dijemput
ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali
Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak
lelaki yang akan lahir dan
menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah
perubahan besar di rumah
tangga kita! Juga di
permukaan dunia. Tak akan pernah ada
perdamaian selama anak laki-
laki tak diajarkan rasa kasih
dan sayang, ucapan kemesraan,
sentuhan dan belaian, bukan
hanya pelajaran untuk
menjadi jantan seperti yang kalian
pahami. Kegagahan tanpa
perasaan. Dua laki-laki dewasa
mengambang air di mata
mereka. Dua laki-laki dewasa dan
seorang wanita tua terpaku di
tempatnya. Memang tak mudah untuk
berubah. Tapi harus dimulai.
Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: “Tak ada kata terlambat
untuk mulai, Sayang.” Dua laki-laki dewasa itu kini
belajar kembali. Menggendong
bersama, bergantian menggantikan popoknya,
pura-pura merancang hari
depan si bayi sambil tertawa-
tawa berdua, membuka kisah-kisah
lama mereka yang penuh
kabut rahasia, dan
menemukan betapa sesungguhnya di
antara keduanya Allah
menitipkan perasaan saling
membutuhkan yang tak pernah
terungkapkan dengan kata,
atau sentuhan. Kini tawa
mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak
oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong
satu-satunya ketika semua
jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung
keputusasaanku. Tiga laki-laki dalam hidupku
aku titipkan mereka di
tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu
dengannya, Nabiku, aku ingin
sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba
sepenuh daya tenaga untuk
mengajak mereka semua
menirumu! Amin, Alhamdulillah…

0 komentar:

Post a Comment