Pages

26 July 2012

Tidak, barang itu bukan milik saya

Meli tak menyangka akan
begini jadinya. Ia terus berlari
dan berlari, menghindari
kerumunan dan amukan
massa di sekitar Jakarta Barat.

Dari kejauhan terlihat jilatan api dari beberapa gedung dan
sisa asap pembakaran mobil.
Massa yang beringas – yang
entah datang dari mana –
bersorak sorai. Kemudian
terdengar suara-suara sumbang penuh hasutan:”Cari
Cina! Cari Cina!” Beberapa mata mulai
memandangnya. Meli
bergidik. Beberapa mulai
merasa menemukan sasaran.
Meli menatap ke depan.
Lengang, tak ada satu kendaraan pun yang bisa
membawanya pergi dari
tempat itu. Cemasnya
menjadi-jadi. Apa yang harus
dilakukannya sekarang?
Berlari sekuat-kuatnya? Masuk ke rumah penduduk?
Mereka telah menutup pintu
rapat-rapat tampa berani
membukanya, setidaknya
saat ini. Lalu? Matanya mulai
nanar. Tiba-tiba di antara bayangan
kepulan asap, tampak seorang
lelaki tua lusuh dengan sebuah
sepeda kusam tua,
menghampirinya. “Ibu Cina, ya! Ibu mau
kemana? Cepat naik ke sepeda
saya, Bu! Cepat!!” “Ojek sepeda ya…. Pak?” Bapak dengan baju tambalan
di sana sini itu mengangguk
pelan. Tanpa berpikir panjang,
Meli segera naik ke atas
sepeda tersebut. Si lelaki tua
mengayuh sepedanya kuat- kuat disertai peluh bercucuran
yang membasahi bagian
punggung bajunya,
meninggalkan massa yang
berpesta dalam amukan dan
beberapa pasang mata liar yang urung mengejar mereka. Sampai di belakang Glodok
Plaza, Meli melihat banyak
orang mengambil barang dari
dalam toko-toko di sekitar
sana. Dengan wajah puas
orang-orang itu mengangkuti televisi, radio, komputer,
kulkas sampai mesin cuci dan
lain sebagainya. Meli tak
mengerti. Mungkinkah
barang-barang itu diberikan
oleh pemiliknya agar toko tersebut tak dibakar? Atau
massa yang menjarahnya?
Beberapa tentara tampak
berjaga-jaga, namun tak
melarang siapa pun yang ingin
mengambil barang. Di sudut yang sepi, Meli
menyuruh bapak tua itu
berhenti. “Ada apa, Bu?” “Pak, mendingan Bapak ikut
ambil barang-barang itu dulu.
Biar sepedanya saya yang
jagain. Itu orang-orang pada
ngambil. Ambil dulu, Pak!”
ujar Meli. Hatinya tergetar melihat kemiskinan dan
perjuangan lelaki tua ini
untuk menghidupi
keluarganya. Ya, apa salahnya
ia menunggu sebentar dan
menjaga sepeda ini sementara bapak itu mengangkuti
barang yang bisa dia bawa
pulang. Di luar dugaan, bapak tua itu
menggeleng dan tersenyum
getir. “Tidak, Bu. Barang itu
bukan milik saya. Bukan
barang halal. Saya muslim,
Bu.” Meli tercengang beberapa saat.
Benar-benar trenyuh. Orang
tak mampu seperti ini,
ternyata punya prinsip hidup
yang sangat mulia. Saat
sampai di tujuan, bapak itu hanya meminta ongkos tiga
ribu rupiah, jumlah yang tak
berbeda dengan bila tak ada
kerusuhan. Meli memberinya
empat ribu, dan bapak tua itu
meninggalkannya dengan riang. “Terimakasih, Bu.” Meli menatap lelaki tua itu
hingga menjadi titik di
kejauhan. Ia telah mendapat
satu pelajaran yang luar biasa.
Bukan dari siapa-siapa. Hanya
dari seorang miskin, seorang muslim, seorang yang berbeda
keyakinan dengan dirinya.
Dan dengan bangga, Meli
menceritakannya pada saya.

0 komentar:

Post a Comment