Pages

30 July 2012

Hati yang mati

Persepsi tentang mati
memang berbeda pada setiap
orang. Ada yang merasa
sudah mati ketika kehilangan
kekasihnya. Ada yang merasa

mati ketika ludes harta bendanya. Dan, ada yang
menganggap hidupnya tak
berarti saat dirundung
kegagalan dan kedukaan
akibat musibah. Mati bukan hanya ketika
seseorang telah
mengembuskan napas
terakhir, matanya terpejam,
detak jantung terhenti, dan
jasad tak bergerak. Itu semua hanya mati biologis.
Kematiannya masih
bermanfaat karena menjadi
pelajaran bagi yang hidup.
Rasulullah SAW bersabda,
“Cukuplah kematian menjadi pelajaran, dan cukuplah
keyakinan sebagai
kekayaan.” (HR At-Thabrani
dari Ammar RA).
Alangkah banyak manusia
sudah mati, tapi masih memberikan manfaat bagi
yang hidup, yakni masjid atau
madrasah yang mereka
bangun, buku yang mereka
tulis, anak saleh yang
ditinggalkan, dan ilmu bermanfaat yang telah
diajarkan. Meraka mati jasad,
tapi pahala terus hidup (lihat
QS al-Baqarah [2]: 154). Sesungguhnya yang perlu
diwaspadai adalah mati
hakiki, yakni matinya hati
pada orang yang masih hidup.
Tak ada yang bisa diharapkan
dari manusia yang hatinya telah mati. Boleh jadi dia
hanya menambah jumlah
bilangan penduduk dalam
sensus. Hanya ikut membuat
macet jalanan dan mengurangi
jatah hidup manusia lain. Itu pun kalau tak merugikan
orang lain. Bagaimana halnya
dengan koruptor, orang yang
merusak, dan menebar
kejahatan di muka bumi? Tanda manusia yang hatinya
telah mati, antara lain, kurang
berinteraksi dengan kebaikan,
kurang kasih sayang kepada
orang lain, mendahulukan
dunia daripada akhirat, tak mengingkari kemungkaran,
menuruti syahwat, lalai, dan
senang berbuat maksiat. Ada tiga hal yang bila kita
tinggalkan akan
menyebabkan kematian hati.
Pertama, bila shalat
ditinggalkan, itu akan
membuat jiwa kalut. Kita akan terjerumus ke dalam
perbuatan keji, terseret ke
lembah kemungkaran dan
kesesatan (QS al-Ankabut [29]:
45 dan QS Maryam [19]: 59),
dan bisa menyusahkan serta merugikan orang lain. Kedua, meninggalkan
sedekah. Itu berarti kita egois,
individualis, dan enggan
berbuat baik. Kepedulian
sosial seperti sedekah adalah
bukti keimanan. Orang yang suka bersedekah hatinya
lapang dan dijauhkan dari
penyakit, khususnya
kekikiran, sedangkan para
dermawan selalu menebar
kebajikan sehingga dekat dengan manusia, Allah, dan
surga. Ketiga, meninggalkan
zikrullah adalah awal
kematian hati. Hatinya akan
membatu sehingga tak bisa
menerima nasihat dan ajaran
agama. Zikir akan menimbulkan ketenangan
hati (QS Ar-Ra’d [13]: 28).
Orang yang tenang hatinya
akan berperilaku positif dan
tak mau berbuat jahat. Mukmin yang selalu shalat,
senang bersedekah, dan
memperbanyak zikrullah
akan menjadi orang yang
paling baik, memiliki hati
yang hidup, dan menebar kebaikan kepada sesama. Bila
kita merasa rajin shalat,
sedekah, dan zikir, tetapi
hatinya mati, kemungkinan
besar shalat, sedekah, dan
zikirnya cenderung formalitas tanpa jiwa

0 komentar:

Post a Comment