Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah
seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan
sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir
keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang. “Jika tempe ini
yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. ..”
demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu pagi, setelah shalat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang
bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe- tempe yang
dia letakkan di atasmeja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang
akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang kedelai,
sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari
peragian.
Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya
lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang,
untuk makan, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah
kembali menjadi tempe.
Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika
meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di
tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau
tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina
ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya
kepada-Mu kuserahkan nasibku…” Dalam hati, dia yakin, Allah akan
mengabulkan doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia
rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih
berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe.
Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya
belum semua menyatu oleh kapas- kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa
senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya.
Dan tempe itu pasti akan jadi.
Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah
seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam
keranjang, dia berdoa lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang
mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan
selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku,
kabulkan doaku…”
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun
pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar,
dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang kedelai itu belum
sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai
tersebut. “Keajaiban Tuhan akan datang… pasti,” yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin,
“tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas
tempe- tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali- kali dia
yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan
keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya.
Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-
pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.
Kecewa, airmata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan?
Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia
ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu
di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada
keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba
merasa lapar… merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya.
Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.
Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya”
sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas.
Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya
kian memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak
pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu
terasa berat…
Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia
memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah
tersenyum, memandangnya. “Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah
jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang
menjualnya. Ibu punya?”
Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa
menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan kedua
tangannya. “Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan
engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi,
jangan jadikan tempe…” Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi,
setengah ragu, dia letakkan lagi. “jangan-jangan, sekarang sudah jadi
tempe…”
“Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?” tanya perempuan itu
lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah
ya Allah, jangan
jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka
pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat?
Pembaca, Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama.
Belum jadi! “Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia
angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun
bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari
tempe kok yang belum jadi?”
“Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Shalauddin, yang kuliah S2 di
Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa
sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi,
saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi
semuanya berapa, Bu?” ================== Selesai ==================
Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan “memaksakan” Allah
memberikan apa yang menurut kita paling cocok. Dan jika doa kita tidak
dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa, merasa hidup ini tidak
adil. Padahal, Allah paling tahu apa yang paling baik untuk kita.
0 komentar:
Post a Comment