Pages

11 August 2012

Kisah tukang cat

Saya tertegun. Darah di seluruh tubuh terasa berdesir lebih cepat. Jarum jam menunjukkan pukul 12 tengah malam. Seorang pemuda sedang menyikat lantai. Di sampingnya tergeletak sebuah ember berisi air. Tak jauh dari situ terdapat cairan pembersih. Mata saya berkaca-kaca. Saya hampir tidak percaya pemuda itu adalah anak saya, Rio.

Saya tidak menyangka Rio mau melakukan hal itu. Menyikat lantai dan mengepel. Di dadanya masih melekat “celemek” warnah hijau dengan sebuah logo yang sangat dikenal: Starbucks.

Sudah hampir tiga bulan Rio magang kerja di Starbucks. Pekerjaan utamanya membuat kopi dan melayani pembeli. Menjelang tutup, bergantian dengan teman-teman sekerjanya, dia menyapu, bersih-bersih, buang sampah, termasuk mengepel atau menyikat lantai.

Meliaht Rio melakukan pekerjaan tersebut, ada rasa haru yang menyesakkan dada. Sudah sejak lama saya ingin anak saya bekerja seperti itu. Beberapa waktu lalu saya pernah sedikit memaksa agar dia melamar di salah satu restoran cepat saji terkenal. Tetapi sayang lamarannya tidak pernah mendapat jawaban. Berkali-kali dicoba tetapi yang terakhir jawaban yang diterima mereka belum membutuhkan tenaga magang.

Saya mendorong Rio untuk magang di restoran cepat saji karena saya ingin dia merasakan apa yang dirasakan para pelayan restoran. Saya ingin dia berempati terhadap pekerjaan pramusaji. Sebab selama ini dia selalu berada pada posisi yang dilayani. Bagaimana rasanya jika sebaliknya, dia yang harus melayani?

Setelah gagal magang di restoran cepat saji, Rio akhirnya diterima magang di Starbucks. Sejak awal saya sudah menyiapkan mentalnya untuk menerima keadaan terburuk sebagai pelayan: mendapat perlakukan kasar dari pembeli.

Namun, jujur saja, ketika toh saya melihat di tengah malam anak sulung saya menyikat lantai dan mengepel, disaksikan pengunjung mall yang lalu lalang, perasaan saya campur aduk. Terharu, sedih, dan bangga menjadi satu. Apalagi ketika dia melihat ayahnya, bersama ibu dan adik-adiknya datang, Rio tertawa sembari terus bekerja. Situasi yang aneh melihat anak yang saya cintai berada di posisi melayani dan saya di posisi tamu yang dilayani.

Ingatan saya lalu kembali ke masa saya kuliah. Untuk mencari tambahan uang kuliah, selain menjual kartu-kartu ucapan yang saya lukis sendiri, saya juga menjual tenaga kepada siapa saja yang membutuhkan. Termasuk kepada kakak laki-laki saya.

Suatu ketika, kakak saya berniat mengecat rumahnya. Saya langsung menawarkan diri. Tentu dengan bayaran. Maka setiap hari, selama seminggu, sebelum kuliah saya mampir dulu ke rumah kakak saya di bilangan Kalibata, Jakarta Timur.

Selama rata-rata empat jam per hari, saya menjadi tukang cat. Seusai bekerja, mandi, baru saya ke kampus. Saya menjalani pekerjaan itu dengan penuh tanggung jawab. Sesudah selesai baru dibayar. Kakak saya dan kakak ipar saya awalnya merasa tidak nyaman. Tetapi mereka kemudian menghargai upaya saya untuk mencari tambahan uang kuliah. Jaman memang terus bergerak. Nilai-nilai berubah. Tentu saya tidak mungkin meminta anak-anak saya untuk melakukan pekerjaan yang dulu saya lakukan. Tetapi setidaknya saya berharap anak-anak saya bisa menghargai orang-orang yang keadaannya sama seperti ayahnya dulu.

0 komentar:

Post a Comment