Pages

12 August 2012

40 tahun dikawinkan dengan batu nisan

Kisah ini dialami oleh
seorang wanita yang
sengaja di samarkan
dengan nama Nyai
Kedasih. Sesuai dengan

permintaan si penutur kisah, alamat serta
jadidiri yang
bersangkutan menjadi
rahasia kami…. Walau usianya sudah di
ambang 70 tahun, garis-garis
kecantikan masih tersirat di
wajahnya yang bersih.
Rambutnya telah memutih,
namun pendengarannya masih sangat baik. Kulitnya
yang penuh kerut juga
masih terawat dengan baik.
Sesekali dia masih bisa
melenggak-lenggok
tubuhnya yang ringkih untuk menari Jaipong.
Orang-orang yang tinggal di
kampung lereng gunung itu
mengenalnya dengan nama
Nyai Kedasih. Dia tinggal di
rumahnya yang sederhana namun berhalaman cukup
luas dan asri. Ditemani oleh
Encih, wanita 40-an tahun.
Encih, mungkin satu-
satunya orang yang masih
bisa merekam dengan jelas kehidupan Nyai Kedasih di
masa lalu. Maklumlah, sejak
kecil Encih memang sudah
ikut dengan Nyai Kedasih.
Bahkan, Encih sudah
diangkat sebagai anak. Dari perkawinannya dengan
Atta, Encih memiliki
sepasang anak, putra dan
putri yang keduanya juga
telah menikah dan berputra.
Mereka tinggal tak jauh dari rumah itu.
“Saya tidak tahu siapa orang
tua saya yang sebenarnya.
Sejak kecil saya sudah ikut
Emak (Nyai Kedasih).
Kemana saja Emak mentas, saya pasti ikut,” cerita Encih.
Dari raut wajahnya,
memang tak ada kemiripan
sama sekali antara kedua
wanita ini. Nyai Kedasih
berwajah khas wanita priangan, dengan paras
sedikit bulat dan berkulit
bersih. Tapi Encih kelihatan
lebih hitam, wajahnya pun
tampak lebih keras. Jadi
jelas kedua wanita itu sama sekali tak memiliki pertalian
darah.
“Emak mengangkat Encih
sebagai anak waktu usianya
masih sepuluh tahun. Dia ini
anak salah seorang nayaga di Grup Sinar Pasundan,
tempat dulu Emak
bergabung,” tambah Nyai
Kedasih.
Hubungan antara Nyai
Kedasih dan Encih mungkin hanya sebagian kecil dari sisi
menarik perjalanan hidup
wanita yang masih memiliki
suara merdu saat
menyanyikan Tembang
Cianjuran itu. Ada hal lain yang jauh lebih menarik,
yakni sisi kehidupan Nyai
Kedasih dalam
hubungannya dengan dunia
yang dulu digelitinya.
Sinden Jaipong! “Emak ini dulunya adalah
seorang primadona di Grup
Sinar Pasundan,” bibir tua itu
bergetar. Lalu, matanya
yang cekung memandang
jauh ke depan, dengan sorot menerawang. Dia tengah
berusaha mengumpulkan
segenap memori masa
lalunya. Kepada Misteri, Nyai
Kedasih menuturkan kisah
hidupnya, seperti yang terekam berikut ini…:
Aku terlahir dari keluarga
seniman. Ibuku seorang
sinden, dan ayahku seorang
penabuh beduk yang cukup
andal. Jadi, kloplah darah seni bumi Prahyangan
mengalir dalam tubuhku.
Wajar saja jika kemudian
aku menjadi pandai menari
dan menyanyi. Banyak
orang yang terpesona melihat tarianku, dan
banyak pula yang
mengagumi merdunya
suaraku.
Namun, bukan hanya kedua
modal itu yang membuatku kemudian menjadi
primadona. Sebagai seorang
sinden, kepandaian menari
dan kemerduan suara
memang modal mutlak, tapi
jauh lebih penting adalah penampilan fisik. Aku
merasa sangat beruntung,
sebab ketiga modal itu
sama-sama ada pada diriku.
Bahkan, kecantikanku yang
nyaris sempurna, sungguh merupakan karunia Tuhan
yang sangat besar bagi
diriku.
Banyak pria yang tergila-
gila padaku, karena
kecantikan dan kemolekan tubuhku. Mereka rela
mengorbankan apa saja asal
bisa mendekati diriku.
Bahkan tak sedikit para
juragan kaya, termasuk
pejabat ketika itu yang berusaha menyuntingku.
Rata-rata mereka ingin
menjadikan diriku sebagai
isteri muda, atau isteri
simpanan.
Sebagai wanita normal, tentu saja aku keberatan
menyandang status sebagai
isteri muda ataupun isteri
simpanan. Apalagi ketika
itu aku sedang jatuh cinta
pada Sumantri, seorang guru SD yang masih
berstatus bujangan.
Dengan kehadiranku, Grup
Sinar Pasundan tempat aku
biasa nyinden kian terkenal.
Hampir di sepanjang musim grup ini tak pernah sepi
order manggung. Begitu
terkenalnya aku sampai-
sampai dalam sekali mentas
bisa mendapatkan uang
sawer dalam jumlah sangat besar, bahkan terkadang
jauh lebih besar dari nilai
kontrak panggilan. Bila aku
manggung, pria berjubel
ingin melihat kecantikan
dan lenggak-lenggok tubuhku yang aduhai.
Begitu besarnya minat
kaum pria atas diriku,
sampai-sampai kerap kali
terjadi perkelahian di antara
mereka. Bahkan tak jarang hingga mengorbankan
nyawa.
Ketenaran dan potensiku
akhirnya dimanfaatkan oleh
kedua orang tuaku,
terutama ibuku yang tergolong kemaruk harta.
Ibukulah yang selalu
mendorong agar aku bisa
menangguk keuntungan
dari banyaknya pria hidung
belang yang ingin menyuntingku. Dalam
istilah Sunda, ibu ingin
menjadikanku sebagai
wanita yang pandai ngeret.
Kehidupan yang
bergelimang uang dan pujian akhirnya memang
membuatku lupa daratan.
Aku pun larut dalam gaya
hidup sesuai dengan
keinginan ibuku. Banyak
pria yang akhirnya patah hati, setelah mengorbankan
uang relatif banyak untuk
sekedar menyentuh
tubuhku.
Karena mabuk akan dunia
yang glamour ini, akhirnya akupun melupakan
Sumantri, guru miskin itu.
Apalagi kemudian Sumantri
dipindahtugaskan ke daerah
Lampung, sehingga kami
pun tak mungkin bisa bersama lagi.
Cinta, rupanya memang
menjadi sesuatu yang tidak
berarti bagiku. Mungkin hal
ini terjadi karena aku bosan
dengan ungkapan cinta yang dikatakan oleh begitu
banyak lelaki. Aku
menganggap semuanya
hanya angin lalu, dan aku
menganggap cinta itu tak
pernah ada. “Jangan berikan cintamu
pada mereka, berikan saja
tubuhmu!” Begitu yang
selalu diajarkan ibuku.
Mungkin sesuatu yang tidak
normal, tapi menjadi normal bagi kami ketika itu.
Kenyataannya, memang
demikianlah kehidupan para
pesinden yang betul-betul
dituntut untuk bisa
memanfaatkan tubuh dan kecantikannya demi
mendapatkan limpahan
materi. Bahkan untuk
tujuan ini, ibu tak jarang
membawaku ke dukun-
dukun untuk dipasangi susuk. Entah berapa banyak
susuk yang tertanam di
tubuhku. Mulai di wajah,
bibir, hingga pinggul. Semua
dilakukan agar aku
senantiasa tampil menarik dan penuh daya pukau.
Namun, hidup bak roda
pedati, kadang di atas,
kadang di bawah. Begitulah
kenyataan yang akhirnya
terjadi pada diriku. Di suatu malam yang dingin,
ketika aku tengah bertabur
uang dan pujian dalam suatu
pementasan, sebuah tragedi
berlangsung dengan sangat
perih. Segerombolan garong telah membantai ibu dan
ayahku, hingga nyawa
mereka terenggut. Ketika
itu, ibu dan ayahku
memang tidak ikut
rombongan Grup Sinar Pasundan. Mereka memilih
tinggal di rumah kami yang
lumayan besar dan mewah
untuk ukuran ketika itu.
Pas tengah malam,
gerombolan garong itu masuk. Mereka merampok
harta kami dan
membinsakan kedua orang
tuaku.
Untunglah waktu itu
sebagian uang dari hasil mentas dan ngeret lelaki
hidung belang sudah
kubelikan sawah dan
kebun, sehingga aku tidak
benar-benar jatuh miskin.
Sementara perhiasan bernilai jutaan rupiah, uang dan
barang-barang berharga
lainnya habis dijarah para
garong.
Kepergian kedua orang
tuaku dan ludesnya harta bendaku membuatku
sangat terpukul.
Kehidupanku pun mulai
terasa limbung. Sialnya, di
tengah keadaan seperti ini
tiba-tiba datang Juragan Jaja Subarja yang
menuntutku agar segera
menikah dengannya.
“Pokoknya, kita harus
segera melaksanakan
pernikahan kita, Nyai. Bukankah aku sudah
mengatur segalanya dengan
almarhum kedua orang tua
Nyai!” kata Juragan Jaja
Subarja.
Aku benar-benar terkejut mendengar tuntutan itu.
Bagaimana mungkin aku
sudi menikah dengan
bandot tua yang sudah
memiliki dua orang isteri
itu? “Saya tidak mengerti
bagaimana maksud
Juragan!” ujarku.
Lelaki yang terkanal paling
kaya di daerah Banjar
Patroman ketika itu, tampak sangat kesal dengan
jawabanku. Namun dia
masih berusaha sabar.
“Begini, Nyai! Seminggu
sebelum kedua orang tuamu
meninggal dibunuh para garong itu, aku sudah
melamarmu kepada
mereka. Bahkan aku sudah
memenuhi tuntutan yang
diajukan oleh ibumu. Dan
sesuai petunjuk ayah dan ibumu, rencananya hari
Senin depan kita menikah.”
Rasanya aku seperti
disambar petir mendengar
penjelas itu. “Bagaimana
mungkin aku harus menikah dengan juragan,
sedangkan aku tak pernah
tahu dengan urusan itu,”
sergahku.
“Saya tidak mau tahu soal
itu, Nyai! Yang penting lamaran saya sudah
diterima, dan kita harus
segera menikah. Titik!”
suara Juragan Jaja Subarja
meninggi.
Namun, akupun tak kalah sengit membalasnya.
“Urusan lamar melamar itu
adalah urusan ayah dan
ibuku. Mereka tak pernah
membicarakannya
denganku. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa menikah
dengan Juragan.”
Jaja Subarja menatapku
dengan tajam. “Jangan
main-main denganku, Nyai!
Aku tidak suka dicurangi!” ancamnya.
“Siapa yang mencurangi
Juragan. Aku? Huh…aku
tidak pernah serendah itu,
Juragan!” balasku. Sebagai
wanita yang sering menghadapi banyak
potongan lelaki, aku
memang tidak bisa
digertak. Apalagi merasa
takut.
Juragan Jaja menggebrak meja. “Kalau kau tidak
bersedia menikah denganku
baiklah. Tapi kumohon
kembalikan lima ratus gram
emas dan sepuluh juta
rupiah uang yang telah kuberikan kepada ibumu,”
katanya dengan suara
keras.
Hampir saja aku melompat
mendengarnya. Bukan
karena takut pada suara Jaja Subarja yang keras
seperti harimau mengaum
itu, tapi aku terkejut pada
jumlah barang yang dia
sebutkan. 500 gram emas
ditambah 10 juta rupiah uang kontan? Sungguh
suatu jumlah yang besar
saat itu. Bagaimana
mungkin aku
mengembalikannya? Lagi
pula, aku tak pernah tahu menahu dengan harta
kekayaan itu.
“Dengar, Juragan! Aku tak
pernah tahu menahu dengan
harta Juragan itu. Aku tidak
pernah melihat apalagi menerimanya walau
sepeserpun. Jadi keputusan
saya tetap, saya tidak
mungkin mau menikah
dengan juragan. Titik!” Aku
tak kalah sengit membalasnya. Ibuku
memang selalu
mengajarkan bahwa lelaki
tak selamanya harus
dihadapi dengan
kelembutan. “Baik, Nyai! Baik!” Subarja
bangkit dari tempat
duduknya. “Kalau kau tetap
bersikukuh dengan
pendirianmu, aku relakan
semua harta benda milikku itu. Tapi ingat satu hal, Nyai!
Kau tidak sudi menjadi
isteriku, tapi akupun tidak
sudi kau diperisteri oleh
lelaki lain. Camkan itu!”
Juragan Subarja pergi meninggalkanku dengan
ancaman yang penuh
dendam. Namun, aku
menganggapnya hanya
angin lalu. Bukankah lelaki
yang ditolak keinginannya selalu saja berbuat kalap?
Ah, mereka memang selalu
seperti anak kecil! Pikirku
ketika itu.
*** Jaja Subarja rupanya tak
main-main dengan
ancamannya. Setidaknya hal
ini baru kurasakan setelah
dua minggu peristiwa
pertengkaran itu. Di suatu malam, aku bermimpi ada
yang menaburkan garam di
atas kepalaku. Rasanya
panas luar biasa. Aku
menjerit-jerit kepanasan,
dan terjaga dari tidurku. Aneh, saat terjaga aku
melihat ada ratusan, bahkan
mungkin ribuan kutu di atas
bantal yang aku tiduri.
Tentu saja aku menjerit-jerit
ketakutan. Mak Tonah, pembantuku ketika itu
datang menolong. Dia pun
sama ketakutan seperti
diriku demi melihat kutu-
kutu itu.
Beberaja jam setelah peristiwa ini, aku
merasakan kulit kepalaku
terasa panas dan gatal. Aku
coba membersihkannya
dengan cara keramas, tapi
gatal-gatal itu tetap saja tak pernah hilang. Aku
menggaruknya. Anehnya,
semakin digaruk rasa gatal
itu semakin menjadi-jadi.
Aku begitu tersiksa
karenanya. Karena gatal-gatal yang luar
biasa itu, akhirnya muncul
koreng-koreng kecil
bernanah di kulit kepalaku.
Akibatnya bila malam tiba
aku benar-benar tersiksa. Digaruk salah, tidak digaruk
pun salah.
Begitu dahsyatnya rasa
gatal itu, sehingga aku tak
kuat menahan untuk tidak
menggaruknya. Aku terus saja menggaruknya, hingga
akhirnya kepalaku tidak
saja dipenuhi oleh luka-luka
kecil bernanah, namun
rambutku yang indah pun
mulai berguguran. Anehnya, setiap helai
rambutku tercerabat, maka
di akarnya akan terlihat
kutu-kutu yang
berlompatan. Menjijikan!
Dalam waktu kurang dari satu bulan, mahkotaku
yang indah berubah
meranggas, bahkan sangat
menjijikan karena dipenuhi
dengan koreng-koreng.
Akibat dari semua ini, tentu saja aku tak bisa
menjalankan aktivitasku
sebagai seoranmg sinden.
Bahkan, aku lebih senang
mengurung diri di dalam
kamar. Hal ini kulakukan karena aku benar-benar
merasa minder bila harus
bertemu dengan orang lain.
Celakanya lagi, akibat
kurang tidur dan tersiksa
oleh penyakit anehku, tubuhku yang dulu singset
dan seksi berubah sangat
kurus. Wajahku yang cantik
dan segar berubah layu dan
pucat. Dan yang lebih
menyakitkan lagi, rambut hitam mayangku yang dulu
indah kini telah punah
seperti hutan yang
terbakar. Ringkasnya, aku
sama sekali tak menarik
lagi. Bahkan mungkin banyak orang yang takut
melihatku.
Sejak mengalami penyakit
aneh ini, nama Nyai Kedasih
pun lambat laun hilang dari
dunia kesenian jaipong. Selama itu pula aku terus
berusaha menyembuhkan
penyakitku, hingga tak
terasa waktu dua tahun pun
berlalu. Mungkin, tak
terhitung berapa banyaknya uang yang aku
habiskan untuk
menyembuhkan
penyakitku. Namun
syukurlah, ketika hampir
putus asa akhirnya penyakitku dapat
disembuhkan setelah aku
berobat kepada seorang
dukun di daerah Jampang
Surade. Sang dukun
menyebut guna-guna yang dikirim kepadaku dengan
nama Reuncang Tinil. Konon,
ilmu teluh ini bisa membuat
korbannya botak dan
tubuhnya kurus kering,
seperti burung Tinil (sejenis bangau yang berkepala
botak dan tinggi kurus-Pen).
*** Setelah berhasil sembuh dari
penyakit aneh itu, aku
memang mulai mengalami
kehidupan yang sehat.
Kendati demikian,
penampilan fisikku tetap saja tak sepenuhnya
sempurna. Untuk
mengembalikan rambutku
agar seperti dulu lagi tentu
saja bukan hal yang
gampang. Bahkan, untuk mengembalikan kondisi
tubuhku saja, sungguh
merupakan hal yang tidak
mudah. Aku tetap saja
kurus kering, dengan
rambut yang tumbuh jarang-jarang.
Betapa menyedihkan
keadaanku. Untunglah ada
Encih, anak angkatku yang
selalu menemaniku dalam
suka dan duka. Dua tahun setelah
kesembuhanku, aku
kembali mengidap penyakit
yang tak kalah aneh. Hanya
gara-gara kemasukan
galagasi (Semacam serangga kecil-Pen) tiba-tiba mataku
jadi buta.
Sore itu, aku baru saja
membersihkan halaman
belakang rumahku. Saat
hendak masuk ke dapur, tiba-tiba ada galagasi yang
menyambar mataku.
Setelah itu, mataku terasa
sangat gatal. Karena terus
kuucek-ucek, mataku
akhirnya jadi merah dan bengkak. Malamnya,
mataku malah seperti
tertusuk-tusuk jarum. Dan
keesokan harinya
penglihatanku menjadi
kabur. Bahkan, dua hari setelah itu aku benar-benar
tak bisa melihat.
Menyadari apa yang terjadi
pada diriku sebagai suatu
penyakit yang sangat aneh,
maka akhirnya aku pun memutuskan untuk
kembali ke Jampang Surade.
Aku kembali diobati oleh
paranormal yang dulu
mengobati sakit aneh pada
kepalaku. Syukurlah aku kembali sembuh setelah si
dukun berhasil
mengeluarkan beberapa
bijih besi yang telah
berkarat dari dalam kelopak
mataku. Setelah dua serangan
penyakit aneh pada diriku
yang berhasil aku
sembuhkan, tanpa aku
sadari sebenarnya sesuatu
yang bersifat gaib lainnya juga tengah menyerangku.
Yang satu ini sama sekali
tidak menimbulkan sakit
pada tubuhku, melainkan
sakit pada mentalku. Betapa
tidak, diam-diam aku mulai benci kepada semua pria.
Aku merasa tak
membutuhkan mereka,
bahkan tak merasa
bergairah dengan mereka.
Semula hal ini kuanggap biasa saja. Ya, mungkin saja
karena aku memang telah
bosan dengan mereka, atau
memang karena sebab biasa
lainnya. Namun lambat laun
aku merasa aneh juga, sebab aku berubah sangat dingin.
Ini kusadari ketika
Sumantri, bekas kekasihku
dulu datang kepadaku. Saat
itu Sumantri berstatus
sebagai seorang duda, karena cerai mati dengan
isterinya.
“Aku bermaksud merajut
kembali hubungan cinta
kita, Dasih!” kata Sumantri.
Tapi, aku menanggapinya dengan dingin. Bahkan, aku
sama sekali tak bergairah
ketika Sumantri mencium
bibirku. Padahal, aku paling
terangsang bila berciuman
bibir dengan seorang pria. Hingga menginjak usia 37
tahun aku tetap memilih
hidup sendiri. Celakanya,
bersamaan itu juga aku
berubah menjadi wanita
yang malas berdandan. Pokoknya aku sama sekali
tak tertarik untuk
menggoda pria dengan
penampilanku.
Memasuki usia 38 tahun, aku
mulai gelisah dengan diriku sendiri. Mengapa aku
enggan menikah?
Pertanyaan ini mulai
menghantuiku. Dengan
sawah dan kebun cukup
luas yang masih kumiliki, ditambah dengan
penampilanku yang masih
tetap cantik di usia
menjelang kepala 4,
sebenarnya bukan hal yang
sulit bagiku unjtuk menggaet seorang pria.
Namun aneh, aku benar-
benar tidak bergairah
dengan mereka.
Karena penasaran akhirnya
aku kembali ke Jampang Surade untuk mendapatkan
terawangan akan diriku
yang sebenarnya. Sang
dukun yang mengobatiku
terkejut dengan hasil
terawangannya. “Rasanya sulit bagi Nyai
untuk bisa menikah,” kata si
Dukun.
“Memangnya ada apa
dengan diri saya, Pak?”
“Terus terang, Nyai sebenarnya telah
dinikahkan. Hanya saja,
Nyai dinikahkan dengan
batu nisan!”
Penjelasan sang Dukun
membuatku sangat terkejut, dan sulit
mempercayainya.
“Bagaimana mungkin hal itu
terjadi, Pak?” tanyaku,
penasaran.
“Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Nyai!
Hal yang kau alami
merupakan hal yang telah
sering kali terjadi. Namanya
Gantung Jodoh atau
Gantung Waris. Caranya bisa bermacam-macam. Ada
yang dinikahkan dengan
pohon, dengan binatang,
bahkan ada juga yang
dinikahkan dengan batu
nisan seperti yang dialami Nyai,” jelas si Dukun.
“Saya mohon, bebaskanlah
teluh itu, Pak!” pintaku,
setengah menghiba.
“Sulit sekali, Nyai!” jawab si
Dukun. “Teluh itu bisa dibebaskan tapi nyawa Nyai
yang menjadi gantinya.
Maksudnya, kalau teluh itu
saya cabut, maka secara
tidak langsung saya juga
mencabut nyawa Nyai. Maafkan saya, kali ini saya
tidak bisa menolong.”
Aku terdiam. Duniaku
serasa gelap. Tapi, aku tak
bisa begitu saja menerima
nasib. Sekitar sebulan setelah
menemui dukun itu, aku
memutuskan menikahi
Seman, salah seorang bujang
sawahku. Pernikahan kami
berlangsung sederhana, dan Seman yang masih perjaka
usia 20-an itu nampaknya
tidak merasa risih dengan
pernikahan itu. Tapi apa
yang terjadi selanjutnya?
Saat menikmati malam pengantin Seman tiba-tiba
kalap. Dia seperti sangat
ketakutan. Entah apa yang
menyebabkannya. Yang
benar-benar aneh, sejak
kejadian ini Seman menjadi sinting.
Dua tahun kemudian Seman
meninggal karena terjun ke
dalam sumur tua di
belakang rumahku tanpa
ada seorang pun yang mengetahuinya.
Sejak kejadian ini aku tak
pernah bermimpi lagi untuk
menikah. Yang kuingat
hanya satu, ucapan Juragan
Jaja Subarja beberapa tahun silam: “…Kau tidak sudi
menjadi isteriku, tapi
akupun tidak sudi kau
diperisteri oleh lelaki lain.”
Ya, aku yakin Subarja-lah
yang menjadi dalang dari semua kejadian mistis yang
aku alami. Rupanya, lelaki
itu benar-benar sakit hatiku
padaku, dan ingin
membuatku menderita
seumur hidup. Semoga saja tuhan mengampuni dosa-
dosanya….
*** Nyai Kedasih menyusut air
mata yang jatuh di atas
wajahnya yang tua. Tapi, ini
bukan tangisan sedih atau
pun penyesalan. Dia
mengaku merasa sangat bersyukur, sebab semua
peritiwa itu membuat
dirinya lebih bertakwa
kepada Tuhan. Padahal,
ketika muda dulu dirinya
sangat jauh dari menyembah Tuhan.
Meski usianya sudah
semakin udzur, namun
menurut penuturan Encih,
emaknya itu tak pernah
menderita sakit. “Sakit kepala saja bahkan tidak
pernah!” tegasnya.
Yang terasa unik sekaligus
menyentuh, hampir
sepanjang tahun Nyai
Kedasih selalu berpuasa, kecuali pada hari-hari yang
diharamkan menurut ajaran
agama Islam. Dengan puasa,
nenek yang masih bisa
menaiki bukit ini mengaku
merasa lebih sehat, baik jiwa maupun raganya.
Sang primadona panggung
kini mengisi hari-hari
tuanya dengan kedaimaian.
Dia tak pernah merasa
dendam kepada orang yang telah merekayasa nasibnya
hingga selama 40 tahun
jodohnya menggantung
karena dinikahkan dengan
batu nisan.
Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran berharga
bagi kita semua.

0 komentar:

Post a Comment