Pages

25 September 2012

Tak Cukup Hanya Cinta

“Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba
mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir
Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga
satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke
majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku

kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim
khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat
kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau
saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal
Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
“Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi
sendiri”, jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara
tumpukan sandal-sendal yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian
bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri
majelis-majelis taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah
seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih
tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena
semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya
bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat
kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang
dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap
setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan
lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang
katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
“Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol
dulu”, tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan
saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol” ,
jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu
komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang
kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo
yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
“Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran
selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama
berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha
mulai bertutur. “Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga
tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah
mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha
sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib
pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo
orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu
mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak
bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan
lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan syahwat itu
begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk
menikah”.
“Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?” , tanyaku
penasaran. “Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan
besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo
emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku
sendiri”
“Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah
dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna
meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria
agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik,
udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting
menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari
bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku
Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan
atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil
tersenyum getir.
Aku perbaiki posisi dudukku, aku pikir ini pengalaman yang menarik. Rasa
penasaran dan sedikit nggak percaya karena Mbak Artha yang aku kenal
sekarang adalah tipikal wanita sholehah, berhijab rapi, tutur kata lembut,
tilawahnya bagus dan smangatnya luar biasa. Benar-benar jauh dari profil
yang di ceritakan tadi. Ternyata benar kata pepatah, bahwa pengalaman
adalah guru yang paling berharga. Mungkin bertolak dari minimnya
pengetahuan agama, akhirnya mbak Artha berusaha keras untuk meng-up grade
diri. Dan subahanalloh hasilnya sungguh menakjubkan. Mbak Artha mekar
laksana bunga yang sedang tumbuh di musim semi, tapi siapa sangka ternyata
indahnya bunga itu tak lain karena kotoran-kotoran hewan yang menjadi
pupuk disepanjang kehidupannya.
Rupanya harapan mbak Artha untuk bisa menimba ilmu agama bersama-sama sang
suami tinggal impian. Mas Bimo yang diharapkan bisa menjadi katalisator
dan penyemangat ternyata hanya jalan ditempat. Hapalan Juz Amma nya belum
bertambah, tilawah Al Qur’an-nya masih belum ada perbaikan masih belum
lancar. Sementara kesibukannya sebagai Brand Manager di salah satu
perusahaan Telco milik asing, makin menyita waktu dan perhatiannya. Masih
syukur bisa mengahabiskan weekend bersama Mbak Artha dan Raihan anak
semata wayang mereka, kadang weekend pun mas Bimo harus ke kantor atau
meeting dan lain-lain. Tidak ada waktu untuk menghadiri majelis taklim,
tadarus bersama bahkan sholat berjama’ah pun nyaris tidak pernah mereka
lakukan.
Aku jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang
ustad berkata “Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat berjam’ah
antara anggota keluarga serta sering dikumandangkan ayat-ayat Allloh akan
didapati kedamaian dan ketenangan didalamnya”
“Dhek….”, suara mbak Artha membuyarkan lamunanku. “Iya mbak, saya masih
denger kok. Saya hanya berpikir ini semua bisa menjadi ladang amal buat
mbak Artha”, jawabku sigap supaya nggak terlihat kalau emang lagi
ngelamun.
“Pada awalnya aku juga berpikir seperti itu dhek. Aku berharap Mas Bimo
juga memiliki keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam pengetahuan
kami terhadap Islam. Aku cukup gembira ketika mas Bimo menyambut ajakanku
untuk sama-sama belajar. Namun dalam perjalanannya, smangat yang kami
miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan ditempat. Sempat miris hati ini
ketika suatu saat aku meminta beliau menjadi imam dalam sholat magrib.
Bacaan suratnya masih yang itu-itu juga dan masih terbata-bata. Aku baru
tau bahwa dia belum pernah khatam Qur’an. Harusnya kan suami itu imam
dalam keluarga ya dhek?”, mata mbak Artha mulai berkaca-kaca.
“Apa harapanku terlalu tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya suami
itu adalah Qowwam, pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana jika sang
pemimpin saja belum memiliki bekal yang cukup untuk menjadi seorang
pemimpin?”, suara mbak Artha mulai bergetar.
“Terkadang aku ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua nggak
mungkin terjadi selama suamiku tidak mau belajar lagi membaca Al-qur’an.
Aku juga merindukan sholat berjama’ah dimana suami menjadi imannya
sementara kami istri dan anak menjadi makmumnya. Apa keinginanku ini
berlebihan dhek?”, tampak bulir bening mulai mengalir dipipi mbak Artha.
“Berbagai cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki diri
terutama dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati supaya tidak
menyinggung perasaannya dan supaya tidak berkesan menggurui. Aku mulai
rajin mengikuti kajian-kajian keislaman, mencoba sekuat tenaga untuk
sholat 5 waktu tepat pada waktunya dan tilawah qur’an setelah sholat
subuh. Bahkan berusaha bangun malam menunaikan tahajud serta menjalankan
sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu kulakukan, dengan harapan mas Bimo
pun akan menirunya. Aku berharap sekali dia terpacu dan semangat, melihat
istrinya bersemangat” , papar mbak Artha dengan suara yang agak tinggi.
“Tapi sampai detik ini semuanya belum membuahkan hasil. Aku seperti orang
yang berjalan sendiriian. Tertatih, jatuh bangun berusaha menggapai cinta
Alloh. Aku butuh orang yang bisa membimbingku menuju surga. Dan harusnya
orang itu adalah Mas Bimo, suami ku”
Kurangkul pundaknya, sambil berbisik “sabar ya mbak, mudah-mudahan semuai
harapanmu akan segera terwujud”. Mbak Artha tampak agak tenang dan mulai
melanjutkan ceritanya.
“Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari
cukup, overall Mas Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera
rumah tangga kami belum pernah diterpa badai besar, semuanya berjalan
lancar. Sampai disuatu saat mbak mulai menyadari sepertinya bahtera kami
telah kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya mengikuti arus kehidupan yang
smakin lama smakin membawa kami kearah yang tidak jelas. Kami sibuk dengan
aktifitas kami masing-masing. Kehangatan, kemesraan, ungkapan sayang yang
dulu paling aku kagumi dari Mas Bimo sedikit demi sedikit terkikis di
telan waktu dan kesibukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, unsur religi
sama sekali tak pernah di sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi
Qowam sebagai pemimpin dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik
Cinta, terabaikan. Mungkin karena memang bekalnya yang kurang. Sunguh,
harapan menggapai sakinah dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh
dari pandangan. Rumah tangga kami bagai tanpa ruh dan kering”, suara mbak
Artha mulai bergetar kembali.
Aku jadi speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata ketenangan rumah tangga mbak
Artha, menyimpan suatu bara yang setiap saat bisa membakar hangus
semuanya. Hanya karena satu hal, yaitu alpanya sentuhan spritual dalam
berumahtangga. Atau mungkin juga adanya ketidaksamaan visi atau tujuan
saat awal menikah dulu. Bukankan tujuan kita menikah adalah ibadah untuk
menyempurnakan setengah agama. Idealnya, setelah menikah keimanan, ibadah
kita makin meningkat. Karena ada suami yang akan menjadi murobbi atau
mentor bagi istri, atau kalaupun sebaliknya jika istri yang lebih berilmu
tidaklah masalah jika istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting
tujuan menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui
cinta dan rahmah makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya
mengapa kreteria agama lebih diutamakan daripada fisik, harta dan
keturunan.
Ternyata cinta saja tak cukup untuk bekal menikah, begitupun dengan harta.
Pernikahan merupakan hubungan secara emosional yang harus ditumbuhkan
dengan sangat hati-hati, penuh kepedulian dan saling mengisi.Bahkan puncak
kenikmatan sebuah pernikahan bukanlah dicapai melalui penyatuan fisik saja
melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual. Pernikahan adalah
sarana pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk mempelajari karakter
pasangan ataupun untuk meng upgrade diri masing-masing.
“Dhek Lia….”, Mbak Artha membuyarkan lamunanku. “Makasih ya dhek dah mau
jadi kuping buat mbak”, mbak Artha menggenggam tanganku sambil tersenyum.
“Mbak yakin dhek Lia bisa dipercaya, do’akan supaya aku diberikan jalan
yang terbaik sama Alloh”.
Aku pun tersenyum, “Insyaalloh mbak, maksih juga dah mau sharing masalah
ini dengan saya. Banyak hikmah yang bisa saya dapat dari cerita mbak. Saya
masih harus banyak belajar soal kehidupan berumah tangga mbak.
Jazakillah”.
Tak terasa hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan dhuhur,
mengakhiri obrolan kami. Sambil menuju tempat wudhu mesjid untuk sholat
dhuhur berja’maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi. “Mas aku kangen, kangen sholat bareng, kangen tadarus bareng cepet pulang
ya Mas. Uhibbukafillahi Ta’ala” ***

0 komentar:

Post a Comment