Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat
serta salam tetap terlimpahkan atas Rasulullah, keluarga dan para
sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti sunnahnya dan menjadikan
ajarannya sebagai petunjuk sampai hari kiamat.
Sejarah Islam, baik yang dulu maupun
sekarang senantiasa menceritakan kepada kita, contoh-contoh indah dari
orang-orang yang mendapatkan petunjuk, mereka memiliki semangat yang
begitu tinggi dalam mencari agama yang benar. Untuk itulah, mereka
mencurahkan segenap jiwa dan mengorbankan milik mereka yang berharga,
sehingga mereka dijadikan permisalan, dan sebagai bukti bagi Allah atas
makhluk-Nya.
Sesungguhnya siapa saja yang bersegera
mencari kebenaran, berlandaskan keikhlasan karena Allah Ta’aala, pasti
Dia ‘Azza Wa Jalla akan menunjukinya kepada kebenaran tersebut, dan akan
dianugerahkan kepadanya nikmat terbesar di alam nyata ini, yaitu
kenikmatan Islam. Semoga Allah merahmati syaikh kami al-Albani yang
sering mengulang-ngulangi perkataan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اْلإِسْلاَمِ وَالسُنَّةِ
Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan as-Sunnah
Diantara kalimat mutiara ulama salaf adalah:
إِنَّ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى اْلأَعْجَمِيِّ وَ الشَابِ إِذَا نَسَكَ أَنْ يُوَافِيَ صَاحِبَ سُنَّةٍ فَيَحْمِلَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya diantara nikmat Allah atas
orang ‘ajam dan pemuda adalah, ketika dia beribadah bertemu dengan
pengibar sunnah, kemudian dia membimbingnya kepada sunnah Rasulullah.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan
yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan-Nya
Inilah
kalimat tauhid, kalimat yang baik, kunci surga. Kalimat inilah stasiun
pertama dari jalan panjang yang penuh dengan onak dan duri, kalimat
taqwa bukanlah kalimat yang mudah bagi seorang insan yang ingin
menggerakkan lisannya untuk mengucapkannya, demikian juga ketika dia
ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam. Karena, ketika
seorang insan ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling dalam, maka
dia harus mengetahui terlebih dahulu, bahwa kalimat itu keluar dengan
seizin Allah Ta’aala.
Demikianlah yang dialami oleh Ibrahim
(dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, meluruskannya diatas
jalan keistiqomahan, serta menutup lembaran hidupnya diatas Islam-.
Inilah dia yang akan menceritakan kepada
kita, bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya (Nashrani) menuju Islam,
dan bagaimana dia telah mengorbankan kekayaan ayahnya serta kemewahan
hidupnya, di suatu jalan (hakekat terbesar), demi mencari kebebasan akal
dan jiwa.
Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya, dan mengokohkannya diatas jalan keistiqomahan- menceritakan:
Saya adalah seorang lelaki dari keluarga
Roma, seorang anak dari keluarga kaya, semasa kecil, saya hidup dengan
kemewahan dan kemakmuran. Demikianlah, kulalui masa kecilku. Ketika masa
remajapun, saya banyak menghabiskan waktu dengan kemewahan bersama
teman-temanku, ketika itu saya memiliki sebuah mobil mewah dan uang,
sehingga saya bisa memiliki segala sesuatu dan tidak pernah kekurangan.
Akan tetapi sejak kecil, saya senantiasa
merasa bahwa dalam kehidupan ini ada yang kurang, dan saya yakin bahwa
ada sesuatu yang salah di dalam hidupku, serta suatu kekosongan yang
harus kupenuhi, karena semua sarana kehidupan ini bukanlah tujuanku.
Saya mulai tertarik dengan agama, dan mulailah kubaca Injil, pergi ke
gereja, serta kusibukkan diriku dengan membaca buku-buku agama Kristen.
Dari buku-buku yang kubaca tersebut, mulai kudapatkan sebagian jawaban
atas berbagai pertanyaanku, akan tetapi tetap saja belum sempurna.
Dahulu saya bangun pagi setiap hari dan
pergi ke pantai, saya merenungi laut sambil membaca buku-buku dan
shalat. Setelah dua bulan dari permulaan hidupku ini, saya merasa mantap
bahwa saya tidak mampu terus menerus menjalani hidupku seperti biasanya
setelah beragama, ketika itu, saya mendatangi ayahku dan kukabarkan
kepadanya bahwa saya tidak bisa melanjutkan bekerja dengannya, saya juga
pergi mendatangi ibu dan saudari-saudariku dan kukabarkan kepada mereka
bahwa saya telah mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka.
Kemudian kusiapkan tasku lalu naik
kereta tanpa kuketahui ke mana saya hendak pergi, hingga saya tiba di
kota Polon, kemudian saya masuk ke ad-dir (Istilah untuk gereja yang
terpencil dipedalaman. – pent.) disana, lalu naik gunung yang tinggi.
Saya menetap di gunung selama kira-kira sebulan, saya tidak berbicara
dengan siapapun, saya hanya membaca dan beribadah.
Sekitar tiga tahun, saya senantiasa
berpindah-pindah dari satu ad-dir ke ad-dir yang lain, saya membaca dan
beribadah, kebalikannya para pendeta yang tidak bisa meninggalkan ad-dir
mereka, karena saya tidak pernah memberikan janji untuk menjadi seorang
pendeta di suatu ad-dir tertentu, dan janji tersebut akan menghalangiku
untuk keluar masuk darinya.
Setelah itu, saya memutuskan untuk
berkeliling ke pelbagai negeri, maka saya memulai perjalanan panjangku
dari Italia melalui Slovania, Hungaria, Nimsa, Romania, Bulgaria, Turki,
Iran, Pakistan, dari sana menuju India. Semua perjalanan ini saya
tempuh melalui jalur darat. Saya mendengar suara adzan di Turki, dan
saya sudah pernah mendengarnya di Kairo (Mesir) pada perjalananku
sebelumnya, akan tetapi kali ini sangat berkesan, sehingga saya
mencintainya.
Dalam perjalanan pulang, saya bertemu
dengan seorang muslim Syi’ah di perbatasan Iran dan Pakistan, dia dan
temannya menjamuku dan mulai menjelaskan kepadaku tentang Islam versi
Syi’ah, keduanya menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak menjelaskan
kepadaku tentang Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka menfokuskan pada
ajaran Syi’ah dan Imam Ali z, serta tentang penantian mereka terhadap
seorang Imam yang ikhlas, yang akan datang untuk membebaskan manusia.
Semua diskusi tesebut sama sekali tidak
menarik perhatianku, dan saya belum mendapatkan jawaban atas berbagai
pertanyaanku dalam rangka mencari hakekat kebenaran. Orang Syi’ah itu
menawarkan kepadaku untuk mempelajari Islam di kota Qum, Iran, selama
tiga bulan tanpa dipungut biaya, akan tetapi saya memilih untuk
melanjutkan perjalananku dan kutinggalkan mereka.
Kemudian saya menuju India, dan ketika
saya turun dari kereta, pertama yang kulihat adalah manusia yang membawa
kendi-kendi di pagi hari sekali dengan berlari-lari kecil menuju ke
dalam kota, maka kuikuti mereka dan saya melihat mereka berthowaf
mengelilingi sapi betina yang terbuat dari emas, ketika itu saya sadar
bahwa India bukanlah tempat yang kucari.
Setelah itu, saya kembali ke Italia dan
dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh, hampir saja saya meninggal
dikarenakan penyakit yang saya derita ketika di India, akan tetapi Allah
telah menyelamatkanku. Alhamdulillah.
Saya keluar dari rumah sakit menuju
rumah, dan mulailah saya berfikir tentang langkah-langkah yang akan saya
ambil setelah perjalanan panjang ini, maka saya memutuskan untuk terus
dalam jalanku mencari hakekat kebenaran. Saya kembali ke ad-dir dan
mulailah kujalani kehidupan seorang pendeta di sebuah ad-dir di Roma.
Pada waktu itu saya telah diminta oleh para pembesar pendeta disana
untuk memberikan kalimat dan janji. Pada malam itu, saya berfikir
panjang, dan keesokan harinya saya memutuskan untuk tidak memberikan
janji kepada mereka lalu kutinggalkan ad-dir tersebut.
Saya merasa ada sesuatu yang mendorongku
untuk keluar dari ad-dir, setelah itu saya menuju al-Quds karena saya
beriman akan kesuciannya. Maka mulailah saya berpergian menuju al-Quds
melalui jalur darat melewati berbagai negeri, sampai akhirnya saya tiba
di Siria, Lebanon, Oman, dan al-Quds, saya tinggal disana seminggu,
kemudian saya kembali ke Italia, maka bertambahlah
pertanyaan-pertanyaanku, saya kembali ke rumah lalu kubuka Injil.
Pada kesempatan ini, saya merasa
berkewajiban untuk membaca Injil dari permulaannya, maka saya memulai
dari Taurat, menelusuri kisah-kisah para nabi bani Israel. Pada tahap
ini mulai nampak jelas di dalam diriku makna-makna kerasulan hakiki yang
Allah mengutus kepadanya, mulailah saya merasakannya, sehingga
muncullah berbagai pertanyaan yang belum saya dapatkan jawabannya, saya
berusaha menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut dari
perpustakaanku yang penuh dengan buku-buku tentang Injil dan Taurat.
Pada saat itu, saya teringat suara adzan
yang pernah kudengar ketika berkeliling ke berbagai negeri serta
pengetahuanku bahwa kaum muslimin beriman terhadap Tuhan yang satu,
tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Dan inilah yang dulu
saya yakini, maka saya berkomitmen : Saya harus berkenalan dengan Islam,
kemudian mulailah kukumpulkan buku-buku tentang Islam, diantara yang
saya miliki adalah terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah
saya beli ketika berkeliling ke berbagai negeri.
Setelah kutelaah buku-buku tersebut,
saya berkesimpulan bahwa Islam tidak seperti yang dipahami oleh
mayoritas orang-orang barat, yaitu sebagai agama pembunuh, perampok dan
teroris akan tetapi yang saya dapati adalah Islam itu agama kasih sayang
dan petunjuk, serta sangat dekat dengan makna hakiki dari Taurat dan
Injil.
Kemudian saya putuskan untuk kembali ke
al-Quds, karena saya yakin bahwa al-Quds adalah tempat turunnya
kerasulan terdahulu, akan tetapi kali ini saya menaiki pesawat terbang
dari Italia menuju al-Quds. Saya turun di tempat turunnya para pendeta
dan peziarah dibawah panduan hause bus Armenia di daerah negeri kuno. Di
dalam tasku, saya tidak membawa sesuatu kecuali sedikit pakaian,
terjemahan al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kemudian saya mulai membaca
lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi, saya membandingkan kandungan
al-Qur’an dengan isi Taurat dan Injil, sehingga saya berkesimpulan bahwa
kandungan al-Qur’an sangat dekat dengan ajaran Musa dan Isa
‘alaihimassalaam yang asli.
Selanjutnya saya mulai berdialog dengan
kaum muslimin untuk menanyakan kepada mereka tentang Islam, sampai
akhirnya saya bertemu dengan sahabatku yang mulia Wasiim Hujair, kami
berbincang-bincang tentang Islam. Saya juga banyak bertemu dengan
teman-teman, mereka menjelaskan kepada saya tentang Islam. Setelah itu,
saudara Wasiim mengatakan kepadaku bahwa dia akan mengadakan suatu
pertemuan antara saya dengan salah seorang dari teman-temannya para
da’i.
Pertemuan itu berlangsung dengan saudara
yang mulia Amjad Salhub, kemudian terjadilah perbincangan yang bagus
tentang agama Islam. Diantara perkara yang paling mempengaruhiku adalah
kisah sabahat yang mulia, Salman al-Farisi z, karena di dalamnya ada
kemiripan dengan ceritaku tentang pencarian hakekat kebenaran.
Kami berkumpul lagi dalam pertemuan yang
lain dengan saudara Amjad beserta teman-temannya, diantaranya
fadhilatusy Syaikh Hisyam al-‘Arif –hafidhohulloh-, maka berlangsunglah
dialog tentang Islam dan keagungannya, kebetulan ketika itu saya
memiliki beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syaikh.
Setelah itu, saya terus menerus
berkomunikasi dengan saudara Amjad yang dengan sabar menjelaskan jawaban
atas mayoritas pertanyaan-pertanyaanku. Pada saat seperti itu di depan
saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti kebenaran atau menolaknya,
dan saya sama sekali tidak sanggup menolak kebenaran tersebut setelah
saya meyakini bahwa Islam adalah jalan yang benar.
Pada saat itu juga, saya merasakan bahwa
waktu untuk mengucapkan kalimat tauhid dan syahadat telah tiba.
Ternyata tiba-tiba saudara Amjad mendatangiku bertepatan dengan waktu
dikumandangkannya adzan untuk shalat dhuhur. Waktu itu benar-benar telah
tiba, sehingga tiada pilihan bagiku kecuali saya mengucapkan :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan
yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan-Nya
Maka serta merta saudara Amjad memelukku
dengan pelukan yang ramah, seraya memberikan ucapan selamat atas
keIslamanku, kemudian kami sujud syukur sebagai ungkapan terima kasih
kepada Allah atas anugerah nikmat ini. Kemudian saya diminta mandi ([1]
Sebagaimana hadits Qoish bin ‘Ashim, Ketika beliau masuk Islam,
Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air yang dicampur bidara.
(HR. An-Nasai, at-Turmudzi dan Abu Daud. Dishohihkan oleh al-Albani
dalam al-Irwaa’ (128).)) dan berangkat ke al-Masjid al-Aqsho untuk
menunaikan shalat dhuhur,
Di tempat tersebut setelah shalat, saya
menemui jamaah shalat dengan syahadat, yaitu persaksian kebenaran dan
tauhid yang telah Allah anugerahkan kepadaku. Setelah saya mengetahui
bahwa siapa saja yang masuk Islam wajib baginya berkhitan, maka segala
puji dan anugerah milik Allah, saya tunaikan kewajiban berkhitan
tersebut sebagai bentuk meneladani bapaknya para nabi, yaitu Ibrahim q
yang melakukan khitan pada usia 80 tahun (Sebagaimana Rasulullah n
bersabda : Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “al-Qoduum”
(nama alat atau tempat).( HR. Al-Bukhori (3356) dan Muslim (2370).)).
Itulah diriku, saya telah memulai hidup
baru dibawah naungan agama kebenaran, agama yang penuh dengan kasih
sayang dan cahaya. Saya senantiasa menuntut ilmu agama dari kitab Allah
Ta’aala dan sunnah Rasulullah n sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu)
umat ini, dari kalangan para sahabat g beserta siapa saja yang mengikuti
mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Segala puji bagi Allah atas anugerah Islam dan as-Sunnah.
Dialihbahasakan oleh
Abu Zahro Imam Wahyudi Lc. dari majalah ad-Da’wah as-Salafiyah-Palestina
edisi perdana, Muharram 1427 H halaman: 21-24.
0 komentar:
Post a Comment