Pages

7 October 2012

Berdakwah dengan Gaple

Ibarat menyelam sambil minum air. Hasilnya terbukti tokcer. Para pemabuk pun bertobat.

Hari itu, kepala Hilman Miftahurojak seakan mendidih ketika menyaksikan sekelompok muda-mudi yang tengah asyik masyuk memadu asmara di atas sepeda motor. Seakan mereka tak malu melakukan aksi mesum di muka umum. Sebaliknya, orang-orang yang memergoki aksi merekalah yang malu dan buru-buru menjauh. Kejadian memalukan itu memang sudah menjadi hal yang biasa di Pasir Jambu Ciwidey, Bandung, Jawa Barat. Tak hanya itu, kampung ini juga terkenal sebagai sarang pemabuk dan pecandu narkoba. Betapa tidak, hampir seluruh pemuda di Pasir Jambu mengonsumsi miras (minuman keras–Red), pil anjing, dan ganja. Tak jarang, para orangtua juga ikut mengonsumsi barang haram tersebut.
Dengan perilaku masyarakat seperti ini, tak heran Ciwidey pada tahun 2001 termasuk daerah pengguna narkoba tertinggi untuk wilayah Bandung. Kondisi geografis yang berada di dataran tinggi dan berhawa dingin menjadi alasan mereka mengonsumsi narkoba. ”Alasan mereka minum miras dan narkoba, kebanyakan untuk menghangatkan tubuh,” aku Hilman.
Di kampung ini, banyak pula pemuda yang terlibat dalam geng motor yang kerap melakukan aksi kejahatan. Hilman sendiri pernah menjadi korban pemalakan anggota geng motor.
Maraknya aksi maksiat ini membuat hati Hilman gusar dan tak bisa tidur pulas. Yang ada dalam benak Hilman adalah bagaimana caranya mengubah kebiasaan warga tersebut menjadi perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi sebagian besar pelaku maksiat tersebut berstatus Muslim.
Maka, pada tahun 2001, usai menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren (Ponpes) Cipasung, Tasikmalaya pimpinan almarhum KH Ilyas Ruhiyat, Hilman memutuskan berkhidmat di Kampung Pasir Jambu yang juga tanah kelahirannya.
Berawal dari Rental PS
Setelah beberapa hari tinggal di Pasir Jambu, Hilman berdiskusi tentang kondisi masyarakat yang memprihatinkan ini dengan sang ayah, Ustadz Rosidin, yang juga Ketua Umum MUI Ciwidey. Hasilnya, pria kelahiran 1 Februari l978 ini dihadapkan pada kenyataan bahwa sudah banyak dai yang berusaha mengubah wajah Pasir Jambu tapi selalu gagal. Untuk itu, sang ayah sangat berharap Hilman mampu mengajak mereka ke jalan yang benar.
Berbekal dorongan dari ayahnya dan ilmu yang diperolehnya di ponpes, Hilman bertekad untuk mengubah wajah kampungnya. Meski saat itu usianya masih muda, 23 tahun, tapi ia tak gentar mengajak para masyarakat untuk meninggalkan perilaku maksiat. ”Saya yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong mereka yang menolong agama-Nya,” kata ayah tiga anak ini.
Hilman kemudian mengatur siasat. Ia yakin kalau penyampaian dakwahnya dilakukan secara frontal, maka akan ditolak mentah-mentah. Karena itu, ia melakukan pendekatan persuasif.
Ia kemudian mengetahui bahwa tempat penyewaan (rental) play station (PS) milik seorang pemuda bernama Tantan Setiawan, kerap dijadikan tempat berkumpul para pemuda untuk melakukan pesta miras dan narkoba. Selain sebagai pemilik rental PS, Tantan dikenal sebagai ’kepala geng’ para pemuda tersebut.
Sebagai langkah awal, Hilman memberanikan diri berkunjung ke rumah Tantan sebagai penyewa PS. Hari pertama ia gunakan untuk observasi. Hilman melihat botol-botol miras berserakan di berbagai sudut. Di ruangan yang agak ke dalam dan samar-samar, ia melihat dan mendengar sekelompok pemuda yang tengah bermain kartu gaple diiringi canda tawa.
Setelah beberapa hari rutin menyewa PS, Hilman ikut bergabung bermain gaple. Dari situ dia mengetahui bahwa permainan gaple yang mereka lakukan hanya hiburan semata, tak menggunakan uang. Tetapi Hilman mengendus aroma khas miras yang kuat manakala pemuda-pemuda tersebut bercakap-cakap. Melalui permainan gaple inilah, Hilman mulai mendakwahi mereka.
Kartu gaple itu terdiri dari bulatan-bulatan yang melambangkan angka nol sampai enam. Semua angka dicetak dalam bentuk bulatan merah. Untuk angka satu bulatannya satu, angka dua bulatannya dua, dan seterusnya. Media gaple yang memiliki sampai enam bulatan inilah yang dijadikan Hilman sebagai media untuk menyampaikan rukun iman. Saat Hilman memperoleh kesempatan melempar kartu dan kebetulan kartu yang ada di tangan memiliki satu bulatan sesuai alur permainan, maka ia akan menyampaikan rukun iman yang pertama.
“Ieu rukun iman anu kahiji, percaya ka Allah (ini rukun iman yang pertama, percaya kepada Allah-Red),” kata Hilman sambil melempar kartu. Ini dilakukan sepanjang ia mendapat giliran melempar kartu, hingga tak terasa seluruh rukun iman yang enam perkara berhasil disampaikan.
Cara ini terbukti tokcer. Karena Hilman sering mengulang-ulang, akhirnya para pemuda menjadi familiar dengan rukun iman. Bahkan ‘cara baru’ bermain gaple yang dilakukan Hilman ini, diikuti para pemuda pemabuk tersebut. Akhirnya, ada juga yang bertanya lebih lanjut tentang rukun iman. Hilman pun dengan mudah menyampaikan materi dakwahnya. ”Ketika akidah mereka (melalui rukun iman) sudah benar, maka amalan-amalan yang lainnya pun akan baik,” kata Hilman ketika menjelaskan, mengapa ia memilih rukun iman sebagai materi awal dakwahnya.
Metode dakwah yang dilakukan Hilman tak lepas dari contoh yang diberikan Sang Guru saat masih belajar di Ponpes. “KH Ilyas Ruhiyat kerap mendakwahi seseorang tanpa disadari orang tersebut,” ujarnya. Untuk itulah, Hilman jarang menyampaikan dakwahnya dengan cara formal di masjid atau majelis taklim. Ia biasa mendakwahi seseorang sambil mengikuti aktivitas yang dilakukan orang tersebut, seperti saat memancing atau bermain bola.
Hilman memiliki trik khusus agar para pemuda tetap istikamah dan tak kembali kepada perilaku maksiat. Hilman melibatkan para pemuda itu dalam kegiatan keislaman, salah satunya dengan membentuk kelompok nasyid yang diberi nama Komasdar (Koboi Masjid Darussalam). Grup nasyid ini kemudian tersohor di wilayah Ciwidey hingga kini.
Dakwah Islam di Ciwidey semakin semarak ketika para orangtua ikut serta memakmuran masjid. Rupanya tanpa sepengetahuan Hilman, pemuda-pemuda itu mengajak para orangtuanya untuk menjalankan Islam secara benar. Kondisi seperti ini menyebabkan kebiasaan masyarakat Pasir Jambu untuk berperilaku maksiat lambat laun menghilang.* Ibnu Syafaat/Suara Hidayatullah
Menyelam Sambil Minum Air
Cara dakwah Hilman bisa dibilang menyelam sambil minum air. Dia masuk ke dunia objek dakwahnya. Setelah ‘masuk’ baru dia kemudian memberi pencerahan. Itu diakui Tantan Setiawan (30), mantan pecandu narkoba dan pemabuk yang kini sudah tobat. “Jadi dia tidak langsung mengajak ke masjid, tapi pelan-pelan,” kata Tantan.
Tantan lalu menuturkan pengalaman pribadinya. Hilman, katanya, dulu tak pernah melarang dirinya untuk mabuk atau memakai narkoba. Dia lalu masuk ke dunia Tantan, misalnya ikut main musik dan play station (PS).
Perlahan Hilman kemudian menuntunnya ke jalan yang benar. Caranya, antara lain dengan memberi contoh kehidupan para pemabuk dan pecandu narkoba. Dari situ Tantan jadi terbuka mata hatinya. “Sekarang jangankan mabuk, merokok pun saya tidak,” katanya. Alhamdulillah.

0 komentar:

Post a Comment