Pages

19 October 2012

Kebaikan yang Sia-sia


قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا. أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka terhapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat.” (Al-Kahfi [18]: 103-105)
Mukaddimah
Suatu ketika Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu pernah ditanya oleh Mush’ab, anaknya tentang ayat ini. Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang paling merugi amalannya? Apakah mereka itu kaum Haruriy (orang-orang fasiq)? Sa’ad menjawab, “Tidak, mereka tak lain adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. (Riwayat Bukhari).
Imam Ibnu Katsir menambahkan, meski ayat ini turun kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tapi ia mencakup siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ayat ini sendiri tergolong Makkiyah sehingga secara akar sejarah kaum Muslimin ketika itu belum berinteraksi secara langsung dengan kaum Yahudi dan Nasrani ataupun Khawarij. Olehnya, pengkhususan suatu kaum bukanlah penghalang bagi kaum yang lain untuk termasuk di dalamnya. Al-Ibrah bi umum al-lafdz la bi khusus as-sabab (pelajaran itu diambil dari keumuman lafadz, bukan dari kekhususan suatu sebab).
Makna Ayat
Setiap manusia tentu berharap hasil dari apa yang ia usahakan. Sekecil apapun pekerjaan itu. Bahkan meski orang itu melabeli perbuatannya dengan “iseng” tapi sejujurnya tetap saja ia menyelipkan harapan di sana. Minimal ia merasa senang dan terhibur olehnya.
Inilah petaka besar yang kembali menimpa orang-orang di luar Islam. Mereka adalah korban tipuan diri mereka sendiri. Menganggap menunaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, namun rupanya hal itu sama sekali tak bernilai di sisi Allah. Layaknya pekerjaan yang dikelola secara profesional, ia telah mengerahkan sekian banyak tenaga, pikiran, serta mengorbankan waktu dan dana yang tak sedikit. Ia berharap apa yang ia lakukan itu dapat memberikan manfaat. Namun bagi Allah dengan segala sifat adil-Nya, hal itu tetap saja menjadi hampa karena tidak didasari terhadap keyakinan kepada Allah Ta’ala.
Imam al-Qurthubi berkata: Meski ayat ini memakai kalimat tanya, namun sejatinya Allah tak membutuhkan jawaban dari pertanyaan itu sebab uslub tersebut berfungsi untuk “mengejek” orang-orang kafir. Selain sengaja menghinakan kaum kafir, Allah juga hendak menarik perhatian kaum Muslim -dengan gaya bertanya ini- agar benar-benar memperhatikan permasalahan ini.
Kebaikan Itu Ada Syaratnya
“I’rif al-haqqa, ta’rifu ahlahu” (kenalilah kebenaran, niscaya kalian mengetahui pelakunya). Demikian sebuah pepatah bijak mengajarkan. Dalam ungkapan yang lain disebutkan, “al-haqqu la yu’rafu bi ar-rijal,” kebenaran itu tak ditentukan oleh seseorang yang melakukan perbuatan tersebut.
Jadi, hendaknya seorang Muslim mengilmui kebaikan itu terlebih dahulu. Sebab, amal saleh itu tak cukup dengan niatan yang baik semata. Ia tak bisa hanya didasarkan pada perasaan atau naluri saja. Sebaliknya, amal saleh memiliki syarat yang wajib dipenuhi untuk membuahkan pahala yang dijanjikan. Jangan sampai ia hanya terjebak dalam prasangka semata. Merasa berbuat baik tapi rupanya ia keliru dalam bertindak.
Ketika kebenaran sudah diilmui dengan baik, seorang Muslim jadi mudah mengenal para pelaku kebaikan itu. Sebaliknya, status sosial atau jabatan seseorang sama sekali bukan garansi jika apa yang ia lakoni menjadi perilaku yang harus dicontoh oleh orang lain. Yang terjadi dalam masyarakat, mereka mengamini suatu perbuatan semata karena yang mengerjakannya adalah orang yang punya jabatan atau terpandang. Di sisi lain karena banyak yang meniru, jadilah orang itu merasa jika perbuatannya tadi adalah benar, bahkan mengandung kebaikan hingga ditiru oleh orang lain.
Secara terang Allah juga membantah orang-orang yang selama ini menuhankan logika dan nalar mereka. Sebab ketaatan dan amal saleh itu bersumber dari keimanan, bukan semata karena merasa cocok dengan logika fikiran manusia. Jika seseorang hanya berbuat baik berdasar nalar dan nafsu mereka, maka yang terjadi semua orang lalu merasa benar dengan apa yang mereka lakukan. Mereka bertindak sesuai keinginan nafsu mereka tanpa mau mengindahkan lagi tuntunan syariat yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kisah Tragis di Hari Kiamat
Bagi seorang Muslim, cukuplah ia merinding dengan apa yang dikisahkan oleh Abu Hurairah. Sahabat mulia ini menuturkan sebuah Hadits dari Nabi SAW bahwa akan datang pada Hari Perhitungan nanti seorang laki-laki yang bertubuh gemuk. Namun celaka, ketika amalannya ditimbang hal itu tak bernilai apa-apa bagi Allah. Bahkan tubuhnya yang gemuk dan besar itu tak mampu melebihi berat sayap seekor nyamuk sekalipun. Allah lalu berfirman, “…dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat.” (Riwayat Bukhari)
Dalam ayat yang lain, Allah mencela orang kafir gara-gara pola makannya yang sembrono. Firman Allah, “…Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad [47]: 12).
Jenis-jenis Kesesatan
Menurut Syaikh Muhammad al-Amin as-Syinqithi, dalam banyak ayat Allah seringkali menuangkan kata “dhalla atau dhalal” yang berbeda makna satu sama lain. Sebab, setidaknya kata tersebut mengandung tiga jenis pengertian yang berbeda dalam terminologi al-Qur`an. Pertama, ia dimaknai menyimpang dari jalan kebenaran dan condong kepada kebathilan. Firman Allah, “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah [1]: 7).
Kedua, kata “dhalal” berarti batal atau sia-sia. Pengertian seperti ini salah satunya terdapat pada pembahasan ayat di atas. “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini.” (Al-Kahfi [18]: 104).
Ketiga, adalah bingung atau belum memahami hakikat makna yang benar. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan kondisi Nabi Muhammad SAW sebelum ia mendapatkan wahyu dari Allah, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Dhuha [93]: 7), (Kitab Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an).


0 komentar:

Post a Comment