Pages

5 October 2012

Karena Kau Jodohku

Aku baru saja pulang kerja, ketika kudapati bapak dan ibu tengah berbincang tentang pernikahanku dengan anak seorang rentenir. Bapak dan ibu sebenarnya juga tak menginginkan pernikahan itu. Tapi keadaan membuat aku juga orang tuaku tak berkutik. Ya, pernikahan itu diiringi ancaman bila aku atau keluargaku menolaknya, akan ada yang dilukai, termasuk keluarga calon suamiku.
Ya, sebenarnya statusku saat itu sudah dilamar orang. Seorang laki-laki yang kukenal shalih dan rajin beribadah, pintar juga seorang sarjana yang sudah mapan.
Dan yang pasti, kami saling cinta. Kami sudah bertemu tiga kali selama proses ta’aruf sampai khitbah. Tapi keadaan membuat aku dan keluarga mundur, dengan alasan menghindari mudharat yang lebih besar. Awalnya berhari-hari aku menangis menolak dan ingin pergi dari rumah. Alhamdulillah, akal sehatku masih berpikir waras. Bila aku pergi, masalah akan kian runyam dan memperkeruh masalah. Akhirnya setelah istikharah, aku memilih menghadapi semua. Mengalir mengikuti alur takdir.
Kalau saja anak dan keluarga itu tidak mengancam keselamatan kami aku tentu  akan bias menolaknya dengan mudah. Bagaimana aku bisa menikah dengan laki-laki kasar, pemabuk, penjudi, pemakan riba dengan tubuh penuh gambar tato? Sungguh aku tak pernah memimpikannya. Tapi kenyataan itu benar-benar harus kuhadapi. Meski dengan segala keterpaksaan. Aku tak mau orang-orang yang kusayangi harus disakiti dan menderita karena penolakanku.
Untungnya keluarga calon suamiku bisa arif menyikapi masalah ini. Meski pada awalnya terkejut dan kecewa, keluarga dan juga calon suami bisa mengerti bahkan jatuh iba padaku. Sungguh semua itu terasa menjadi beban mental yang berat untukku, untuk keluargaku juga untuk keluarga calon suamiku. Tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Ancaman dari anak rentenir itu terlalu berisiko.
Semua orang mengenal bagaimana sepak terjang keluarga rentenir juga anaknya. Membuat onar dan keributan adalah hal lumrah yang jadi pemandangan sehari-hari di tempat kami tinggal. Mereka dan tukang tagihnya tak segan mengobrak-abrik rumah atau bahkan memukul dan menyakiti saat menagih hutang. Perilakunya sadis dan nekad tanpa rasa takut. Penjara tak membuat jera.
Hari H yang semakin dekat membuat kegelisahanku memuncak. Aku sering menangis. Ibu dan bapak pun demikian. Mereka mengerti apa yang aku rasakan. Tapi, yach…, kami tak bisa berkutik.
Seperti, bila ia tiba-tiba datang dalam keadaan mabuk berat ke rumah. Hal itu terjadi berulang kali. Kami sekeluarga begitu benci dan risih dengan kehadirannya. Mulutnya mengoceh tak karuan. Bahkan tak jarang ia mabuk sambil mengacungkan senjata tajam menantang semua orang yang berani menentang dan menghalangi pernikahannya denganku.
Siang malam tak henti aku memohon pada Allah, agar  melepaskan aku dan keluargaku dari himpitan permasalahan ini. Doaku terjawab. Entah harus kasihan atau harus gembira saat kami mendengar pemuda begajulan ini meregang nyawa, setelah menenggak minuman oplosan. Motornya menabrak pal di tepi jalan. Temannya tewas di tempat. Setelah dua hari di ICU, ia akhirnya tak tertolong…
Dalam hati aku bersyukur pada Allah, telah lepas dari satu masalah. Tapi masalah lain menantiku. Aku teringat kembali dengan rencana pernikahanku dengan pria pertama. Aku memang  berharap masih bisa melanjutkan khitbah itu  ke jenjang pernikahan. Mungkinkah? Sementara dulu aku dan keluarga yang mengakhiri karena alasan di atas. Aku dan keluarga hanya pasrah pada Allah atas semua yang menimpa kami.
Subhanallah, ternyata pria pertama dan keluarganya punya pikiran yang sama denganku. Setelah menunggu suasana mereda, ada utusan dari keluarga pria yang menghendaki hubungan yang telah kami rajut berlanjut. Setelah berembug, kami mengambil kata sepakat untuk segera menikah.
Walhamdulillah, mimpi ke pelaminan akhirnya bisa kami wujudkan, setelah kami lalui masa-masa sulit. Kini tiga momongan yang lucu telah hadir menghiasi hari-hari kami. Semoga keluarga yang kami bangun selalu berhias sakinah, mawadah, warahmah. Amin.

0 komentar:

Post a Comment