Aku baru saja pulang kerja, ketika
kudapati bapak dan ibu tengah berbincang tentang pernikahanku dengan
anak seorang rentenir. Bapak dan ibu sebenarnya juga tak menginginkan
pernikahan itu. Tapi keadaan membuat aku juga orang tuaku tak berkutik.
Ya, pernikahan itu diiringi ancaman bila aku atau keluargaku menolaknya,
akan ada yang dilukai, termasuk keluarga calon suamiku.
Ya, sebenarnya statusku saat itu sudah
dilamar orang. Seorang laki-laki yang kukenal shalih dan rajin
beribadah, pintar juga seorang sarjana yang sudah mapan.
Dan yang pasti,
kami saling cinta. Kami sudah bertemu tiga kali selama proses ta’aruf sampai khitbah. Tapi
keadaan membuat aku dan keluarga mundur, dengan alasan menghindari
mudharat yang lebih besar. Awalnya berhari-hari aku menangis menolak dan
ingin pergi dari rumah. Alhamdulillah, akal sehatku masih berpikir waras. Bila aku pergi, masalah akan kian runyam dan memperkeruh masalah. Akhirnya setelah istikharah, aku memilih menghadapi semua. Mengalir mengikuti alur takdir.
Kalau saja anak dan keluarga itu tidak
mengancam keselamatan kami aku tentu akan bias menolaknya dengan mudah.
Bagaimana aku bisa menikah dengan laki-laki kasar, pemabuk, penjudi,
pemakan riba dengan tubuh penuh gambar tato? Sungguh aku tak pernah
memimpikannya. Tapi kenyataan itu benar-benar harus kuhadapi. Meski
dengan segala keterpaksaan. Aku tak mau orang-orang yang kusayangi harus
disakiti dan menderita karena penolakanku.
Untungnya keluarga calon suamiku bisa
arif menyikapi masalah ini. Meski pada awalnya terkejut dan kecewa,
keluarga dan juga calon suami bisa mengerti bahkan jatuh iba padaku.
Sungguh semua itu terasa menjadi beban mental yang berat untukku, untuk
keluargaku juga untuk keluarga calon suamiku. Tapi kami tak bisa berbuat
apa-apa. Ancaman dari anak rentenir itu terlalu berisiko.
Semua orang mengenal bagaimana sepak
terjang keluarga rentenir juga anaknya. Membuat onar dan keributan
adalah hal lumrah yang jadi pemandangan sehari-hari di tempat kami
tinggal. Mereka dan tukang tagihnya tak segan mengobrak-abrik rumah atau
bahkan memukul dan menyakiti saat menagih hutang. Perilakunya sadis dan
nekad tanpa rasa takut. Penjara tak membuat jera.
Hari H yang
semakin dekat membuat kegelisahanku memuncak. Aku sering menangis. Ibu
dan bapak pun demikian. Mereka mengerti apa yang aku rasakan. Tapi, yach…, kami tak bisa berkutik.
Seperti, bila ia tiba-tiba datang dalam
keadaan mabuk berat ke rumah. Hal itu terjadi berulang kali. Kami
sekeluarga begitu benci dan risih dengan kehadirannya. Mulutnya mengoceh
tak karuan. Bahkan tak jarang ia mabuk sambil mengacungkan senjata
tajam menantang semua orang yang berani menentang dan menghalangi
pernikahannya denganku.
Siang malam tak henti aku memohon pada
Allah, agar melepaskan aku dan keluargaku dari himpitan permasalahan
ini. Doaku terjawab. Entah harus kasihan atau harus gembira saat kami
mendengar pemuda begajulan ini meregang nyawa, setelah menenggak minuman
oplosan. Motornya menabrak pal di tepi jalan. Temannya tewas di tempat.
Setelah dua hari di ICU, ia akhirnya tak tertolong…
Dalam hati aku bersyukur pada Allah,
telah lepas dari satu masalah. Tapi masalah lain menantiku. Aku teringat
kembali dengan rencana pernikahanku dengan pria pertama. Aku memang
berharap masih bisa melanjutkan khitbah itu ke jenjang
pernikahan. Mungkinkah? Sementara dulu aku dan keluarga yang mengakhiri
karena alasan di atas. Aku dan keluarga hanya pasrah pada Allah atas
semua yang menimpa kami.
Subhanallah, ternyata pria
pertama dan keluarganya punya pikiran yang sama denganku. Setelah
menunggu suasana mereda, ada utusan dari keluarga pria yang menghendaki
hubungan yang telah kami rajut berlanjut. Setelah berembug, kami
mengambil kata sepakat untuk segera menikah.
Walhamdulillah, mimpi ke
pelaminan akhirnya bisa kami wujudkan, setelah kami lalui masa-masa
sulit. Kini tiga momongan yang lucu telah hadir menghiasi hari-hari
kami. Semoga keluarga yang kami bangun selalu berhias sakinah, mawadah, warahmah. Amin.
0 komentar:
Post a Comment