Terdapat
berbagai dalil yang jelas dan tegas dari berbagai hadis Rasulullah
tentang penggunaan ruyat dalam menentukan awal puasa maupun hari raya,
sebagaimana yang diyakini dan dipahami oleh jumhur (kebanyakan ulama).Ke-empat
mahzab yang ada semuanya juga sepakat untuk tidak memakai hisab
(perhitungan) dalam penetapan bulan Ramadhan atau Syawwal.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbuka (tidak berpuasa) karena
melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka
sempurnakanlah hitungan bulan Syaban menjadi tiga puluh hari.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah
kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan
pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sampai kalian melihatnya (bulan
Syawwal). Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya.”
Imam an-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “…Al-Mazari mengatakan, Jumhur Fuqaha telah
mengarahkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : perkirakanlah
untuknya kepada makna bahwa yang dimaksudkan adalah dengan
menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari, sebagaimana yang dia
tafsirkan di dalam hadits lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh
dimaksudkan bahwa perhitungan itu berdasarkan perhitungan hisab ahli
falak/hisab, karena seandainya orang-orang itu dibebani hal itu, niscaya
mereka akan merasa kewalahan, karena hal itu tidak dapat diketahui
kecuali hanya oleh beberapa orang tertentu saja, sedangkan syari’at
Islam dapat diketahui oleh banyak orang. Wallaahu a’lam…” (Shahiih
Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/189)).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “…Kita telah mengetahui dari ajaran Islam bahwa mengamalkan
ru’yah hilal puasa, haji, iddah, ila’ atau hukum-hukum lainnya yang
berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat adalah tidak boleh.
Cukup banyak nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal
tersebut. Kaum muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut, dan tidak
diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu dari sejak dahulu
kala…” (Majmuu Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/132))
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
rahimahullah mengatakan, “…Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah
perhitungan bintang dan perjalanannya dan mereka tidak mengetahui hal
tersebut, kecuali hanya sedikit orang saja. Oleh karena itu, hukum yang
terkait dengan (awal atau akhir) puasa dan yang lainnya adalah dengan
memakai ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dari mereka dalam melakukan
hisab perjalanan bintang yang cukup berat. Hukum itu terus berlaku pada
puasa, meskipun setelah itu ada orang yang mengetahui hal tersebut.
Bahkan, lahiriah hadits ini mengandung penolakan terhadap penyandaran
hukum (penentuan bulan) pada hisab. Hal itu dijelaskan oleh sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits terdahulu: “Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Maka
tanyakanlah kepada ahli hisab.” Dan hikmah dalam hal itu, bahwa jumlah
hitungan pada saat berawan (mendung) dan hitungannya menjadi sama bagi
orang yang hendak berpuasa sehingga perbedaan dan perselisihan itu
dihilangkan dari mereka…” (Fat-hul Baari (IV/127)).
Bagaimana
dengan pendapat yang menyatakan bahwa metode hisab adalah metode yang
penghitungannya sangat akurat, dan dijadikan sebagai pembantu untuk
menetapkan awal bulan Ramadhan apabila cuaca sedang tidak baik dimana
kemunculan bulan bisa saja terhalang oleh awan?
Seharusnyalah
kita mencukupkan diri dengan apa yang telah dijelaskan Rasulullah dalam
hadisnya. Islam adalah mudah dan bisa dimengerti oleh setiap orang.
Allah sudah memberikan kemudahan kepada kita dengan cara melihat
langsung bulan yang bisa terlihat oleh siapa saja. Kenapa harus dibuat
rumit dan sulit dengan memakai perhitungan yang hanya orang tertentu
saja yang tahu?
“Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan…”[Al Quran, Surah Al-Hajj: 78]
Tidakkah
kita merasa cukup dengan apa yang sudah Allah dan rasulnya tetapkan ?
Kenapa harus menambah-nambah hal-hal dalam agama dalam suatu hal yang
tuntunannya jelas-jelas ada dalam agama ? Tentang bulan yang tertutup
awan atau cuaca tak bagus, bukankah jelas-jelas di dalam hadis
rasulullah di awal tulisan ini yang menyuruh kita menggenapkan bulan
syaban menjadi 30 hari jika bulan tertutup awan?
Selain
itu, ilmu falak atau astronomi sebagaimana yang digunakan dalam hisab
sudah ada sejak dulu kala, termasuk di era rasulullah hidup, walaupun
mungkin tak berkembang di dunia arab. Tetapi tetap saja Rasulullah tak
pernah menyuruh umat Islam belajar atau bertanya pada ahli
perbintangan/hisab untuk menentukan awal puasa dan hari raya. Perhatikan
hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dimana
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
kami adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah
menghisab, jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini
(sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya).” (Diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
Yakni, terkadang 29 dan terkadang 30 hari. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahih al-Bukhari (III/25) dan Shahiih Muslim (III/124))
Mengenai
harus berapa orang yang melihat hilal, ulama berbeda pendapat. Diantara
yang dianggap rajih (kuat) adalah dalam menetapkan hilal Ramadhan cukup
dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru’yah hilal bulan
Syawwal harus didasarkan pada kesaksian dua orang.
Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah tidak membolehkan seseorang memasuki puasa
Ramadhan kecuali dengan ru’yatul hilal yang sudah terbukti, atau
kesaksian satu orang, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan puasa berdasarkan pada kesaksian Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma. Selain itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa
berdasarkan kesaksian seorang Badui dan bersandar pada pemberitahuan
dari keduanya…”( Zaadul Ma’aad (I/1325))
Ibnu Hajar al-Asqalani
rahimahullah mengatakan, “… Penyandaran ru’yah tidak pada setiap orang,
tetapi yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah ru’yah sebagian
orang saja, yaitu orang yang bisa dipercaya untuk itu. Menurut Jumhur
Ulama adalah satu orang, sedangkan menurut yang lainnya adalah dua
orang…” (Fat-hul Baari (IV/123), Lihat juga kitab Haasyiyah Ibni Abidin
(II/384 dan setelahnya), Syarh ash-Shaghiir (II/219 dan setelahnya),
Raudhatuth Thaalibiin (II/345), al-Mughni (IV/325 dan setelahnya),
Subulus Salaam (II/207 dan setelahnya))
Untuk
menerima kesaksian ru’yatul hilal ini disyaratkan agar orang yang
memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan beritanya
dapat dipercaya atas amanat dan penglihatannya.
Kesaksian
anak kecil tidak dapat dijadikan dasar penetapan masuk dan keluarnya
bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya
dengan seorang yang tidak waras (gila).
Kesaksian
orang kafir juga tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya,
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada
orang Badui tersebut:
“Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah.”
Dengan
demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyandarkan
penerimaan kesaksian seseorang itu pada keislamannya.
Orang
yang beritanya tidak dipercaya karena telah dikenal suka berbohong atau
suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan lemah
yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya
tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal
tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang
dominan pada dirinya.
1 komentar:
oke boss
Post a Comment