Pages

25 July 2013

Ketika Cinta Lama Bersemi Kembali

Selesai membereskan pekerjaan rumah yang menjadi rutinitas paginya, Miranda bergegas membersihkan diri. Dipakainya baju baru, riasan wajah tipis tipis lalu segera dilambainya taksi yang kebetulan tengah melintas.
Ini kali pertama Miranda keluar rumah untuk bertemu Harlan,
lelaki yang pernah dicintainya dulu. Jantungnya berdegup lebih kencang, nafasnya memburu, keringatnya berbintik di keningnya. Jujur, ia tegang luar biasa. Sama seperti belasan tahun yang lalu saat ia jatuh cinta pertama kali pada lelaki itu.
“Datanglah ke foodcourt di sudut kampus. Kita makan siang bareng ya…” bunyi sms Harlan yang masuk di ponselnya membuatnya berdebar debar.
Miranda masih tetap cantik meskipun usianya sudah melewati 30an tahun. Rambutnya masih hitam lebat terawat meskipun beberapa helai uban menyembul di sana sini. Pipinya masih terlihat kencang, kerutan halus mulai terlihat di sudut mata dan bibirnya. Menatap matanya bagai melihat ke kedalaman telaga yang berkilau jernih. Semua itu tak mengurangi kecantikannya yang klasik.
**********
Tiga tahun yang lalu Priyo meninggal dalam kecelakaan tragis. Saat itu mereka baru saja merayakan ulang tahun perkawinan yang ke lima. Sebuah pesta kecil kecilan telah disiapkan Priyo, sebagai hadiah kejutan untuk Miranda. Rumah mungil lengkap dengan isinya menjadi bagian dari kebahagiaan mereka malam itu.
Sepulang dari makan malam romantis lalu dilanjut dengan nonton film berdua hingga larut malam membuat Priyo sedikit mengantuk. Ia memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi, menabrak pembatas jalan dan terbalik.
Tulang pahanya patah, tiang kemudi melesak ke dadanya hingga jiwanya tak tertolong lagi sesampainya di rumah sakit. Miranda sendiri terluka di dahinya, tangan kirinya retak dan darah mengalir dari sela kedua kakinya akibat benturan hebat itu.
Priyo meninggal dunia tanpa sempat mendengar kabar membahagiakan ini. Lima tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menantikan kehadiran seorang anak. Saat karunia itu hadir di tengah mereka, Tuhan memanggil Priyo. Padahal Miranda berencana memberitahukan berita bahagia ini sepulang mereka ke rumah.
“Maas….kenapa begitu cepat kau pergi? Kau bahkan belum tahu kalau aku sedang berbadan dua…” ratapnya pilu.
“Tapi aku juga membencimu. Gara gara kamu, aku kehilangan bayiku….” rutuknya lagi.
**********
Harlan melambaikan tangannya saat dilihatnya Miranda tengah mencari cari. Ia masih mengenali perempuan itu, terlebih wajahnya tak berubah sama sekali.
“Mau makan apa Mir? Eh, bagaimana aku harus memanggilmu….?” tawa Harlan terdengar riang.
Miranda tersenyum. Ragu ragu dia duduk di seberang meja Harlan. Nuraninya berkata kalau tindakannya itu salah. Sisi hatinya yang lain mengatakan itu benar. Aah, entahlah, Miranda sedang tak ingin mendengarkan debat dalam pikirannya. Ia ingin menikmati makan siangnya kali ini bersama orang lain.
Sudah terlalu lama ia hanya berkutat dengan dunianya sendiri. Dapur, sumur dan tetangga kiri kanan. Tak pernah sekalipun ia mau bertandang ke teman temannya dulu, atau ke keluarga yang agak jauh. Ia benar benar menutup diri dari kehidupan sosialnya.
Semua terjadi setelah kecelakaan hebat yang merenggut Priyo dari sisinya. Ia menyalahkan Tuhan. Ia menyalahkan mobilnya yang tak beres remnya. Ia menyalahkan malam itu, menyesali kenapa ia mau diajak keluar untuk makan malam dan menonton film.
“Apa kabar mas Harlan? Lama sekali kita tak bertemu….”
“Aduuhh…Mir…Mir…. Kaku sekali kau, formiill….” Harlan menyela kata Miranda sambil tergelak.
“Bukankah kita ini teman? Kok seperti ngomong sama siapa aja…” sambungnya. Gelak tawanya masih terdengar.
Miranda tersipu sipu. Pipinya merona, menambah cantik parasnya. Jantung Harlan dag dig dug makin kencang.
**********
Dulu semasa mereka kuliah bersama, Harlan naksir berat sama Miranda. Gadis manis yang pemalu itu sangat menarik hatinya. Setiap kali ada tugas kelompok, Harlan selalu berusaha agar bisa satu grup dengan Miranda. Ia sudah cukup puas bisa mengerjakan tugas bersama sama, mendengarkan suaranya yang halus, atau memandangi gadis itu saat sedang sibuk mengetik.
Ia menyimpan perasaan cintanya rapat rapat. Latar belakang keluarganya yang sederhana membuatnya berpikir seribu kali untuk mendekati gadis itu. Miranda berasal dari keluarga berada. Ayahnya seorang dosen ternama dan ibunya pengusaha sukses. Sebagai anak tunggal, Miranda dilimpahi kemewahan yang membuat iri teman teman se kampusnya.
“Sampai kapan? Haa…? Sampai berkarat dan berkalang tanah?” Dudi tertawa mengejek. Harlan hanya bisa terdiam. Mukanya merah padam menahan marah, juga malu luar biasa. Ia tak menyadari bila sahabatnya ini bisa membaca isi hatinya.
Hingga mereka lulus kuliah, Miranda diterima bekerja di Jakarta dan Harlan masih setia mencari sesuap nasi di Jogja. Yaah, ia tak bisa meninggalkan bisnis rental komputer yang sudah dirintisnya sejak awal masuk kuliah dulu, dan mencari pekerjaan lain di Jakarta. Ia anak sulung, ia masih harus menanggung biaya sekolah kedua adiknya yang masih SMA.
Harlan mengubur perasaan cintanya dalam dalam ketika mendengar kabar pernikahan Miranda. Gadis itu menerima pinangan Priyo, anak kolega papanya. Ia pernah berharap Harlan menyatakan cinta padanya. Sebagai seorang gadis yang dididik dengan adat Jawa yang halus, ia hanya bisa menunggu. Penantiannya ternyata sia sia.
Meskipun hatinya hancur lebur, tetapi Harlan tetap berdoa untuk kebahagiaan Miranda, gadis yang diam diam dicintainya.
********
“Hallo pengusaha sukses…..” seseorang menepuk bahunya. Harlan terkejut bukan main. Dudi berdiri tegak di hadapannya sambil tersenyum lebar.
“Dudiii…..” soraknya.
Mereka berpelukan erat, sambil tertawa tawa gembira. Pameran komputer yang diselenggarakan di mall mewah itu tidak sengaja telah mempertemukan mereka kembali.
“Ada kabar gembira. Ingin dengar tidak?” goda Dudi.
“Aaahh kau ini. Apa yang bisa membuatku gembira? Nggak ada….” Sahut Harlan lesu. Ingatannya kembali melayang pada Miranda, gadis yang diam diam dicintainya.
“Miranda sudah menjanda. Priyo meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu……”.
Dudi tersenyum penuh arti. Ia tahu benar kalau Harlan masih menyimpan cintanya pada Miranda.
Jadilah, siang itu mereka lewatkan dengan mengenang kembali masa kuliah mereka yang menyenangkan. Diam diam Harlan membuka kembali pintu hatinya, harapan yang lama sekali terkubur kini mulai merekah kembali.
Dipeluknya bahu sahabatnya penuh rasa terima kasih.
*******
“Yakin mas? Kau …..kau….tidak bercanda kan?” Miranda kaget. Pernyataan Harlan terdengar bagaikan petir di siang bolong. Wajahnya memucat, kenangan demi kenangan tentang Priyo dan kehilangan bayinya kembali menyeruak.
“Kita sudah sama sama dewasa Miranda. Aku belum menikah, karena cintaku kepadamu telah kupupus sebelum sempat mekar berkembang…..”.
“Beri aku waktu mas…..aku….aku…” Miranda menutup wajahnya dengan telapak tangan, ia mulai terisak.
Harlan memeluk pundak perempuan itu, membiarkannya meluapkan tangisnya agar perasaannya menjadi lega. Hujan yang tiba tiba turun menambah sendu suasana sore itu. Hanya isak tertahan Miranda yang sesekali terdengar memecah kesunyian.
~~~~
“Mas, bacalah ini….” Miranda mengangsurkan kertas hasil labnya.
Harlan membaca baris demi baris dengan teliti, rona wajahnya berubah ubah dari merah padam ke pucat pasi. Beberapa kali ia mengusap wajahnya yang berkeringat. Miranda duduk menanti dengan tegang. Diperhatikannya gerak gerik Harlan, seakan ingin membaca apa yang tersirat di wajahnya.
“Mira……aku mencintaimu sejak kita kuliah dulu. Sampai hari ini, cintaku tak berkurang sedikitpun meskipun kau lebih memilih pria lain….”.
“Tapi…….”.
Harlan memeluk perempuan itu erat erat, seakan tak ingin dilepaskannya lagi. Itu sudah cukup buat Miranda, ia tak perlu lagi meragukan niat baik Harlan.
~~~~~~
“Bagaimana saksi? Sah? Sah?”.
“Sah”.
“Sah”.
Geremeng ucap syukur memenuhi ruang tengah yang semarak oleh untaian bunga melati yang indah. Harlan memanjakan Miranda dengan menghias seluruh penjuru rumahnya dengan rangkaian melati dan bunga ceplok piring.
Dudi tersenyum lebar menyambut pasangan pengantin baru ini. Ia sangat bersyukur, akhirnya sahabatnya ini menemukan cinta sejatinya.
Bulan separo menerangi beranda yang gelap tanpa lampu. Sambil memeluk Miranda, Harlan mengeluarkan dua lembar hasil lab yang berbeda. Satu milik Miranda dan satunya lagi kepunyaan Harlan. Baru malam itu Miranda mengerti kenapa Harlan tetap nekat melamarnya.
Dokter telah memvonis Harlan tak bisa mempunyai keturunan, sementara Miranda pun tak bisa hamil lagi. Dokter telah mengangkat rahimnya saat kecelakaan itu, untuk menyelamatkan nyawanya.
Tak putus putusnya Miranda mengucap syukur atas karunia itu.

0 komentar:

Post a Comment