Selesai
membereskan pekerjaan rumah yang menjadi rutinitas paginya, Miranda
bergegas membersihkan diri. Dipakainya baju baru, riasan wajah tipis
tipis lalu segera dilambainya taksi yang kebetulan tengah melintas.
Ini
kali pertama Miranda keluar rumah untuk bertemu Harlan,
lelaki yang
pernah dicintainya dulu. Jantungnya berdegup lebih kencang, nafasnya
memburu, keringatnya berbintik di keningnya. Jujur, ia tegang luar
biasa. Sama seperti belasan tahun yang lalu saat ia jatuh cinta pertama
kali pada lelaki itu.
“Datanglah ke foodcourt di sudut kampus. Kita makan siang bareng ya…” bunyi sms Harlan yang masuk di ponselnya membuatnya berdebar debar.
Miranda
masih tetap cantik meskipun usianya sudah melewati 30an tahun.
Rambutnya masih hitam lebat terawat meskipun beberapa helai uban
menyembul di sana sini. Pipinya masih terlihat kencang, kerutan halus
mulai terlihat di sudut mata dan bibirnya. Menatap matanya bagai melihat
ke kedalaman telaga yang berkilau jernih. Semua itu tak mengurangi
kecantikannya yang klasik.
**********
Tiga
tahun yang lalu Priyo meninggal dalam kecelakaan tragis. Saat itu
mereka baru saja merayakan ulang tahun perkawinan yang ke lima. Sebuah
pesta kecil kecilan telah disiapkan Priyo, sebagai hadiah kejutan untuk
Miranda. Rumah mungil lengkap dengan isinya menjadi bagian dari
kebahagiaan mereka malam itu.
Sepulang
dari makan malam romantis lalu dilanjut dengan nonton film berdua
hingga larut malam membuat Priyo sedikit mengantuk. Ia memacu mobilnya
dalam kecepatan tinggi, menabrak pembatas jalan dan terbalik.
Tulang
pahanya patah, tiang kemudi melesak ke dadanya hingga jiwanya tak
tertolong lagi sesampainya di rumah sakit. Miranda sendiri terluka di
dahinya, tangan kirinya retak dan darah mengalir dari sela kedua kakinya
akibat benturan hebat itu.
Priyo
meninggal dunia tanpa sempat mendengar kabar membahagiakan ini. Lima
tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menantikan kehadiran seorang
anak. Saat karunia itu hadir di tengah mereka, Tuhan memanggil Priyo.
Padahal Miranda berencana memberitahukan berita bahagia ini sepulang
mereka ke rumah.
“Maas….kenapa begitu cepat kau pergi? Kau bahkan belum tahu kalau aku sedang berbadan dua…” ratapnya pilu.
“Tapi aku juga membencimu. Gara gara kamu, aku kehilangan bayiku….” rutuknya lagi.
**********
Harlan
melambaikan tangannya saat dilihatnya Miranda tengah mencari cari. Ia
masih mengenali perempuan itu, terlebih wajahnya tak berubah sama
sekali.
“Mau makan apa Mir? Eh, bagaimana aku harus memanggilmu….?” tawa Harlan terdengar riang.
Miranda
tersenyum. Ragu ragu dia duduk di seberang meja Harlan. Nuraninya
berkata kalau tindakannya itu salah. Sisi hatinya yang lain mengatakan
itu benar. Aah, entahlah, Miranda sedang tak ingin mendengarkan debat
dalam pikirannya. Ia ingin menikmati makan siangnya kali ini bersama
orang lain.
Sudah
terlalu lama ia hanya berkutat dengan dunianya sendiri. Dapur, sumur
dan tetangga kiri kanan. Tak pernah sekalipun ia mau bertandang ke teman
temannya dulu, atau ke keluarga yang agak jauh. Ia benar benar menutup
diri dari kehidupan sosialnya.
Semua
terjadi setelah kecelakaan hebat yang merenggut Priyo dari sisinya. Ia
menyalahkan Tuhan. Ia menyalahkan mobilnya yang tak beres remnya. Ia
menyalahkan malam itu, menyesali kenapa ia mau diajak keluar untuk makan malam dan menonton film.
“Apa kabar mas Harlan? Lama sekali kita tak bertemu….”
“Aduuhh…Mir…Mir…. Kaku sekali kau, formiill….” Harlan menyela kata Miranda sambil tergelak.
“Bukankah kita ini teman? Kok seperti ngomong sama siapa aja…” sambungnya. Gelak tawanya masih terdengar.
Miranda tersipu sipu. Pipinya merona, menambah cantik parasnya. Jantung Harlan dag dig dug makin kencang.
**********
Dulu
semasa mereka kuliah bersama, Harlan naksir berat sama Miranda. Gadis
manis yang pemalu itu sangat menarik hatinya. Setiap kali ada tugas
kelompok, Harlan selalu berusaha agar bisa satu grup dengan Miranda. Ia
sudah cukup puas bisa mengerjakan tugas bersama sama, mendengarkan
suaranya yang halus, atau memandangi gadis itu saat sedang sibuk
mengetik.
Ia
menyimpan perasaan cintanya rapat rapat. Latar belakang keluarganya
yang sederhana membuatnya berpikir seribu kali untuk mendekati gadis
itu. Miranda berasal dari keluarga berada. Ayahnya seorang dosen ternama
dan ibunya pengusaha sukses. Sebagai anak tunggal, Miranda dilimpahi kemewahan yang membuat iri teman teman se kampusnya.
“Sampai
kapan? Haa…? Sampai berkarat dan berkalang tanah?” Dudi tertawa
mengejek. Harlan hanya bisa terdiam. Mukanya merah padam menahan marah,
juga malu luar biasa. Ia tak menyadari bila sahabatnya ini bisa membaca
isi hatinya.
Hingga
mereka lulus kuliah, Miranda diterima bekerja di Jakarta dan Harlan
masih setia mencari sesuap nasi di Jogja. Yaah, ia tak bisa meninggalkan
bisnis rental komputer yang sudah dirintisnya sejak awal masuk kuliah
dulu, dan mencari pekerjaan lain di Jakarta. Ia anak sulung, ia masih
harus menanggung biaya sekolah kedua adiknya yang masih SMA.
Harlan
mengubur perasaan cintanya dalam dalam ketika mendengar kabar
pernikahan Miranda. Gadis itu menerima pinangan Priyo, anak kolega
papanya. Ia pernah berharap Harlan menyatakan cinta padanya. Sebagai
seorang gadis yang dididik dengan adat Jawa yang halus, ia hanya bisa
menunggu. Penantiannya ternyata sia sia.
Meskipun hatinya hancur lebur, tetapi Harlan tetap berdoa untuk kebahagiaan Miranda, gadis yang diam diam dicintainya.
********
“Hallo
pengusaha sukses…..” seseorang menepuk bahunya. Harlan terkejut bukan
main. Dudi berdiri tegak di hadapannya sambil tersenyum lebar.
“Dudiii…..” soraknya.
Mereka
berpelukan erat, sambil tertawa tawa gembira. Pameran komputer yang
diselenggarakan di mall mewah itu tidak sengaja telah mempertemukan
mereka kembali.
“Ada kabar gembira. Ingin dengar tidak?” goda Dudi.
“Aaahh
kau ini. Apa yang bisa membuatku gembira? Nggak ada….” Sahut Harlan
lesu. Ingatannya kembali melayang pada Miranda, gadis yang diam diam
dicintainya.
“Miranda sudah menjanda. Priyo meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu……”.
Dudi tersenyum penuh arti. Ia tahu benar kalau Harlan masih menyimpan cintanya pada Miranda.
Jadilah,
siang itu mereka lewatkan dengan mengenang kembali masa kuliah mereka
yang menyenangkan. Diam diam Harlan membuka kembali pintu hatinya,
harapan yang lama sekali terkubur kini mulai merekah kembali.
Dipeluknya bahu sahabatnya penuh rasa terima kasih.
*******
“Yakin
mas? Kau …..kau….tidak bercanda kan?” Miranda kaget. Pernyataan Harlan
terdengar bagaikan petir di siang bolong. Wajahnya memucat, kenangan
demi kenangan tentang Priyo dan kehilangan bayinya kembali menyeruak.
“Kita
sudah sama sama dewasa Miranda. Aku belum menikah, karena cintaku
kepadamu telah kupupus sebelum sempat mekar berkembang…..”.
“Beri aku waktu mas…..aku….aku…” Miranda menutup wajahnya dengan telapak tangan, ia mulai terisak.
Harlan
memeluk pundak perempuan itu, membiarkannya meluapkan tangisnya agar
perasaannya menjadi lega. Hujan yang tiba tiba turun menambah sendu
suasana sore itu. Hanya isak tertahan Miranda yang sesekali terdengar
memecah kesunyian.
~~~~
“Mas, bacalah ini….” Miranda mengangsurkan kertas hasil labnya.
Harlan
membaca baris demi baris dengan teliti, rona wajahnya berubah ubah dari
merah padam ke pucat pasi. Beberapa kali ia mengusap wajahnya yang
berkeringat. Miranda duduk menanti dengan tegang. Diperhatikannya gerak
gerik Harlan, seakan ingin membaca apa yang tersirat di wajahnya.
“Mira……aku
mencintaimu sejak kita kuliah dulu. Sampai hari ini, cintaku tak
berkurang sedikitpun meskipun kau lebih memilih pria lain….”.
“Tapi…….”.
Harlan
memeluk perempuan itu erat erat, seakan tak ingin dilepaskannya lagi.
Itu sudah cukup buat Miranda, ia tak perlu lagi meragukan niat baik
Harlan.
~~~~~~
“Bagaimana saksi? Sah? Sah?”.
“Sah”.
“Sah”.
Geremeng
ucap syukur memenuhi ruang tengah yang semarak oleh untaian bunga
melati yang indah. Harlan memanjakan Miranda dengan menghias seluruh
penjuru rumahnya dengan rangkaian melati dan bunga ceplok piring.
Dudi
tersenyum lebar menyambut pasangan pengantin baru ini. Ia sangat
bersyukur, akhirnya sahabatnya ini menemukan cinta sejatinya.
Bulan
separo menerangi beranda yang gelap tanpa lampu. Sambil memeluk
Miranda, Harlan mengeluarkan dua lembar hasil lab yang berbeda. Satu
milik Miranda dan satunya lagi kepunyaan Harlan. Baru malam itu Miranda
mengerti kenapa Harlan tetap nekat melamarnya.
Dokter
telah memvonis Harlan tak bisa mempunyai keturunan, sementara Miranda
pun tak bisa hamil lagi. Dokter telah mengangkat rahimnya saat
kecelakaan itu, untuk menyelamatkan nyawanya.
Tak putus putusnya Miranda mengucap syukur atas karunia itu.
0 komentar:
Post a Comment