Pages

14 July 2013

Kisah petani dan kambingnya

Tersebutlah ada seorang
petani dan keluarganya yang
tinggal di sebuah kampung.
Tempat tinggal masyarakat di
kampung tersebut adalah
rumah yang berbentuk panggung. Umumnya kolong
rumah di sana dimanfaatkan
sebagai tempat penyimpanan
barang-barang pertanian, tapi
ada juga yang dimanfaatkan
sebagai kandang hewan ternak. Tokoh cerita kali ini adalah
seorang petani yang
menjadikan kolong rumahnya
sebagai kandang kambing
yang diternaknya. Tidak
banyak memang, namun lumayan cukup untuk
memenuhi keperluan lauknya
sepanjang tahun, bahkan di
bulan haji terkadang bisa
menjual 2 atau 3 ekor
kambing. Demikianlah kehidupan si
petani ini. Dia dan keluarganya
sudah terbiasa dengan suasana
kandang kambing itu. Suara
embiknya sudah menjadi
irama biasa bagi pendengarannya. Bahkan bau
khas kandang kambing pun
sudah tidak bermasalah bagi
indera penciuman mereka.
Sudah biasa saja. Tidak ada
yang mengganggu. Berbeda dengan keadaan pertama kali
mereka menjadikan
kolongnya sebagai kandang
kambing. Dulu isteri dan anak-
anaknya sering mengeluhkan
akan bisingnya suara embik kambing di tengah malam,
atau bau amisnya yang
menyengat sepanjang hari.
Tapi itu dulu. Sekarang tidak
lagi. Sudah terbiasa. Seolah
indera penciuman mereka sudah mati rasa terhadap bau
kambing. Pada suatu kesempatan,
keluarga petani ini
berkunjung ke rumah saudara
mereka di kampung sebelah.
Ada hajat pernikahan
ponakan mereka di sana. Kebiasaan di kampung itu,
bisa sampai tiga hari tiga
malam pestanya. Karena
keluarga si petani itu
bukanlah tamu, melainkan
saudara, maka mereka ikut menjadi panitia hajat
pernikahan tersebut.
Menbantu ini dan itunya.
Mereka larut dalam suasana
bahagia. Pesta meriah. Tamu-
tamu yang datang berpakaian dengan eloknya. Wangi
parfum semerbak di setiap
pojok. Setelah selesai pestanya
mereka pun kembali ke
kampungnya.Tapi ada sesuatu
yang lain yang mereka
rasakan setelah kembali dari
pesta pernikahan itu. Hanya baru di halaman rumahnya
saja, mereka menciumi bau
khas kambing yang
mengganggu. Dan mereka
tidak bisa tahan karenanya.
Anak isteri petani itu mulai menggerutu. Kemudian,
begitu masuk ke rumahnya,
suara embik kambing pun
bersahutan. Gerutuan anak
isterinya pun bertambah.
Tanpa menunggu waktu lama, anak dan isteri petani itu pun
mengultimatum ayah mereka
agar hari itu juga kandang
kambing harus di pindah ke
kebun belakang. Mereka tidak
tahan dengan bau dan embiknya. Ya begitulah akhirnya.
Kandang kambing pun
digusur dari kolong
rumahnya. Tiga hari yang
mereka lalui di tempat pesta
pernikahan itu telah merubah sensitifitas indera penciuman
dan pendengaran mereka
menjadi lebih ‘normal’. RENUNGAN:
Mungkin di tempat yang kita
betah sekarang ini (bisa
rumah, bisa kantor,
lingkungan, dll), ada ‘bising
suara dan bau kambing’ yang sebenarnya tidak enak. Tapi
karena kebiasaan, maka itu
sudah dianggap wajar saja. Kiranya ada baiknya kita
berkunjung ke tempat lain
yang ‘bagus dan wangi’
sejenak untuk kemudian
kembali ke rumah kita dan
bisa menata kembali segala sesuatunya agar lebih indah
dan wangi.
Mungkin demikian ilustrasi
dari benchmark dalam
pengertian sederhana yang
dicontohkan oleh seorang petani di atas. Semoga kita
dapat memetik hikmahnya.

0 komentar:

Post a Comment