Pages

12 May 2014

Ketika Saya Hampir Menyerah, Jodoh itu Datang

Syaiha | trainer nasional | cacat | penulis | novelis | teacher | suami romantis | syaiful hadi | blogger | internet marketing | guru hebat | inspirator | http://syaiha.com


Kesalahan fatal saya pada kisah ini adalah tidak mengingat dan tidak mencatat kapan kejadian ini berlangsung. Ya, saya benar-benar lupa kapan pastinya. Tapi jelas, ini terjadi tahun 2014, beberapa bulan yang lalu.
Siang itu, ketika mentari sedang petantang-petenteng di langit biru nan luas, saya justru sedang duduk santai di dalam ruangan berpendingin, asik berselancar di dunia maya. Membaca beberapa artikel, menulis, dan bersosial media.
Tiba-tiba, seorang sahabat yang sudah lama tak bersua, juga jarang menyapa, mengirimiku pesan di jendela facebook. Katanya: “Syaiha, lagi dimana? Lama nggak ada kabarnya nih?”
Sebenarnya, dalam hati saya menggerutu, “Lama nggak ada kabar darimana? Padahal, hampir setiap hari saya selalu mengupdate kegiatan dan kabar saya di blog pribadi dan blog keroyokan ini. Dia saja yang jelas sekali tidak pernah memperhatikan setiap tulisan saya yang lalu lalang”

Tapi, tetap saja dengan senang hati saya membalas chat darinya, “Alhamdulillah kabar saya baik. Kamu bagaimana?”
Beberapa detik kemudian, dia membalas lagi, “Alhamdulillah saya juga baik”
Saya manggut-manggut membaca pesan darinya, lalu menunda membalasnya. Siang itu, saya memang sedang ada jadwal posting tulisan di blog pribadi dan di Kompasiana. “Nanti deh balas chatnya, setelah posting tulisan ini kelar” batinku.
Setelahnya, saya sibuk dengan beberapa fitur untuk memposting tulisan di blog. Memasukkan gambar, mengedit beberapa kata yang tidak sesuai, memperbaiki tanda baca yang tidak tepat, dan membaca ulang, khawatir ada kalimat yang tidak enak dinikmati. Hingga beberapa menit kemudian, postingan saya selesai dan saya kembali ke laman facebook saya. Sudah ada beberapa pesan darinya yang masuk dan belum saya baca.
“Maaf..” katanya dalam chat itu, “Syaiha udah menikah belum ya?”
Glek!!
Saya menelan ludah membaca pesan itu. Waktu itu saya memang belum menikah. Dan pertanyaan sudah menikah atau belum, adalah pertanyaan menyesakkan untuk orang yang sudah cukup umurnya namun masih menyendiri saja. Istilah kerennya: Jones, Jomblo ngenes!
Sama hal nya dengan pertanyaan: “Sudah lulus belum?” atau “Kapan mau lulus kuliah?”. Pertanyaan sejenis ini, jika ditujukan kepada mahasiswa tingkat empat dan belum juga ada tanda-tanda kapan akan selesai studinya, maka sama saja meletakkan batu besar di kepalanya. Menyakitkan.
Pesan dari sahabat saya berlanjut, “Atau, maaf, sebenarnya Syaiha ada keinginan menikah nggak ya?”
Lagi, saya menelan ludah sendiri membaca pesan dari sahabat saya ini. Andai ia ada di samping saya kala itu, mungkin sudah saya jitak tuh kepalanya! Sayang, ia jauh dan entah ada dimana.
Saya menyaksikan jendela chatnya di facebook, masih hijau, pertanda ia masih online. Saatnya membalas pesan itu.
Setelah menghela napas sejenak, saya mengetikkan beberapa kalimat kepadanya, “Tentu ada dong keinginan menikah! Masa nggak ada..” kataku, “Cuma, memang, jodoh itu benar-benar rahasia Allah” Setelah menekan enter, saya diam sejenak.
Lalu melanjutkan, “Di luar sana, ada orang-orang yang sudah ingin sekali menikah, segala daya ia kerjakan untuk menjemput jodohnya, tapi jika Allah bilang belum, ya belum lah yang akan terjadi. Entah kapan ia akan menikah”
“Sebaliknya, ada juga sebagian orang yang enggan menikah. Ingin menunda hingga beberapa lama, tapi jika Allah bilang ia akan menikah segera, maka tunggu saja beberapa saat lagi. Jodohnya akan datang dan mereka menikah”
“Dan saya, adalah orang yang pertama. Sudah berkeinginan menikah sejak usia 25 tahun. Tapi hingga sekarang, saat usia saya menginjak 27 tahun, jodoh itu masih saja tidak jelas siapa. Setidak jelas matahari ketika tertutup awan hitam yang bergulung-gulung tebal”
Ia lalu membalas pesan saya, “Oh.. Syukurlah kalau memang ada keinginan menikah. Saya doakan semoga jodohnya Syaiha segera datang”
Dan percakapan itupun selesai.
*****
Kejadian yang sama pernah terjadi beberapa bulan sebelum kejadian diatas. Dan lagi, saya lupa mencatat kapan ia berlangsung. Hari apa dan tanggal berapa, saya lupa.
Waktu itu saya sedang liburan di Bengkulu, di kampung saya. Setelah sekian lama berada di pedalaman Kalimantan, rasanya mengasikkan menghabiskan waktu bersama ibu dan kakak-kakak saya. Belum lagi, beberapa keponakan yang masih menggemaskan selalu bertanya ini dan itu tentang pengalaman saya di Kalimantan. Mereka antusias setiap kali saya bercerita bahwa di pedalaman Kalimantan itu sekolahnya selalu banjir setiap hari, tapi anak-anaknya semangat berangkat ke sekolah.
Salwa, salah satu keponakan saya yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar malah berkali-kali menyela, “Paman, emang nggak ngeri ya kalau banjir? Kalau nanti ada ular gimana?”
“Kalau mereka hanyut gimana?”
“Emang kulitnya nggak gatel-gatel, Man?”
Saya tersenyum menyaksikan polahnya yang selalu ingin tahu ini. Pertanda ia adalah anak cerdas dan membanggakan. Dan sebagai pamannya, saya mengerti harus menjawab apa dan bagaimana. Momen itu saya gunakan untuk menanamkan karakter-karakter baik kepada semua keponakan saya. Betapapun tidak mengenakkannya kondisi kita, kita harus senantiasa bersemangat menuntut ilmu dan berbuat kebaikan.
Saya paham, mereka mungkin belum mengerti maksud kalimat saya itu. Tapi, lima atau sepuluh tahun lagi, ketika pemahaman yang baik sudah mulai bertunas dalam diri mereka, mereka akan mengerti setiap kalimat yang pernah saya ucapkan ini. Dan semoga karakter-karakter baik yang saya harapkan itu bisa tumbuh di sanubari mereka. Subur dan menghiasi setiap tindak tanduknya.
Siang itu, saat saya sedang bersantai di rumah, ponsel saya berdering. Sebuah panggilan masuk dari sebuah nomor yang tidak saya kenali. Saya menempelkan ponsel saya ke pipi kiri, menekan gambar telpon berwarna hijau. Menanti sebuah suara menyapa.
Terdengar suara lelaki di seberang sana, “Assalamu’alaikum, Syaiha” katanya.
Setelah mengernyitkan dahi karena tidak tahu siapa yang menelpon, saya menjawab, “Wa’alaikumsalam..”
“Hei.. Ini Ucok..” ujarnya lagi, dan saya mengernyitkan dahi lagi, ekspresi masih belum mengenali “Ucok yang mana??”. Di Bogor saya punya sahabat yang bernama Ucok. Di Kalimantan juga ada beberapa teman yang dipanggil dengan nama itu. Dan ini, Ucok yang mana?
“Ah, kau pasti lupa ya?” katanya, “Ucok, kawan kau waktu SMP dulu. Ayo lah, masa orang sepintar kau mudah kali lupanya?”
Sambil menepok jidat, saya menjawab, “Aih, kau rupanya, Ucok yang suka bolos sekolah itu kan? Yang selalu kena hukuman karena lupa mengerjakan PR?” kataku bersemangat setelah ingat sahabat lama saya ini. “Harusnya kau mengaku saja, kau tentu saja tidak lupa mengerjakan PR, kau hanya malas dan tidak bisa kan?” kataku terbahak.
“Ah, payah kali kau. Masa cuma yang jelek-jelek aja yang kau ingat? Awak kan juga atlet volley sekolah bro. Kalau nggak ada aku, nggak mungkin sekolah kita dulu bisa juara satu lomba volley sekecamatan!” kini gantian Ucok yang tertawa tergelak.
Dan percakapan dua sahabat yang sudah lama tak berjumpa pun mengalir deras. Seperti aliran air dari atas genting ketika hujan lebat melanda. Banyak dan tumpah seketika. Hingga pada titik tertentu ia berkata, “Awak udah punya anak dua bro. Kau kapan nikahnya? Jangan belajar terus lah yang dipikirin! Inget usia loh..”
Gleek... ludah itu pun tertelan dengan sendirinya.
“Doakan saja lah ya, Cok” kataku pelan.
“Pasti.. Aku pasti doakan kau”
*****
Orang-orang mungkin tidak pernah tahu, atau memang tidak mau tahu, bahwa orang seperti saya, urusan menikah itu tidak pernah mudah. Ya, orang dengan kekurangan fisik seperti saya, yang kaki kanannya lebih kecil dari kaki kirinya, menemukan jodoh itu seperti mencari jarum di tumbukan jerami yang menggunung. Ketika ada sedikit kilauan yang dikira jarum, saya pasti dekati, tapi ternyata bukan. Berkali-kali begitu.
Sebelumnya, saya pernah beberapa kali mencoba hendak menikah dengan jalan yang saya yakini, tidak dengan pacaran. Saya mendatangi seorang ulama dan meminta kepadanya untuk dicarikan seorang perempuan yang sekiranya sudah siap menikah dan mau menerima saya. Tapi, hingga nyaris setahun, ulama itu tidak juga menemukan. Ia menyerah dan memutuskan tidak bisa membantu.
Hingga ada beberapa sahabat yang mengenalkan saya kepada beberapa perempuan yang sudah siap menikah dan memang sedang mencari pendamping juga. tapi, seperti yang saya bilang, pernikahan itu tidak pernah terwujud karena satu hal, mereka tidak siap memiliki suami yang cacat.
“Maaf Syaiha, teman saya itu belum bisa menerima kamu”
“Orang tuanya nggak mau nerima kamu, Syaiha”
“Keluarganya, kakak-kakaknya, paman dan bibinya, tidak bisa menerima kamu, Syaiha”
Dan masih banyak lagi kalimat penolakan yang berdatangan. Saya telan saja semuanya mentah-mentah. Hingga pada titik ketika saya hampir menyerah, bantuan Tuhan itu datang. Sungguh, Tuhan mungkin hanya ingin saya berikhtiar semaksimal mungkin untuk menjemput jodoh saya.
Hingga ketika saya berada pada titik jenuh dan hendak menyerah, jodoh saya itu Tuhan kirimkan, agar saya menjadi sadar sesadar-sadarnya bahwa ia tidak boleh disia-siakan, ia harus dijaga hingga akhir hayat. 
Ah, terimakasih Tuhan. Jodoh yang kau kirimkan ini adalah seorang bidadari yang hebat. 
 
 
 
 SyaiHa adalah penyandang Disability, kaki kanannya terkena polio sejak usianya satu tahun. Dengan keterbatasannya sekarang, ia ingin berbagi semangat, inspirasi, dan harapan. Termasuk dengan semua tulisannya yang ada di blog ini. Maka mohon, jika tulisannya bagus, boleh disebarkan sesuka hati. Salam.

0 komentar:

Post a Comment