Kesalahan fatal saya pada kisah ini
adalah tidak mengingat dan tidak mencatat kapan kejadian ini berlangsung. Ya,
saya benar-benar lupa kapan pastinya. Tapi jelas, ini terjadi tahun 2014,
beberapa bulan yang lalu.
Siang itu, ketika mentari sedang petantang-petenteng di langit biru nan
luas, saya justru sedang duduk santai di dalam ruangan berpendingin, asik
berselancar di dunia maya. Membaca beberapa artikel, menulis, dan bersosial
media.
Tiba-tiba, seorang sahabat yang
sudah lama tak bersua, juga jarang menyapa, mengirimiku pesan di jendela facebook.
Katanya: “Syaiha, lagi dimana? Lama nggak ada kabarnya nih?”
Sebenarnya, dalam hati saya menggerutu,
“Lama nggak ada kabar darimana? Padahal,
hampir setiap hari saya selalu mengupdate kegiatan dan kabar saya di blog
pribadi dan blog keroyokan ini. Dia saja yang jelas sekali tidak pernah
memperhatikan setiap tulisan saya yang lalu lalang”
Tapi, tetap saja dengan senang hati
saya membalas chat darinya, “Alhamdulillah kabar saya baik. Kamu bagaimana?”
Beberapa detik kemudian, dia
membalas lagi, “Alhamdulillah saya juga baik”
Saya manggut-manggut membaca pesan
darinya, lalu menunda membalasnya. Siang itu, saya memang sedang ada jadwal
posting tulisan di blog pribadi dan di Kompasiana. “Nanti deh balas chatnya, setelah posting tulisan ini kelar”
batinku.
Setelahnya, saya sibuk dengan
beberapa fitur untuk memposting tulisan di blog. Memasukkan gambar, mengedit
beberapa kata yang tidak sesuai, memperbaiki tanda baca yang tidak tepat, dan
membaca ulang, khawatir ada kalimat yang tidak enak dinikmati. Hingga beberapa
menit kemudian, postingan saya selesai dan saya kembali ke laman facebook saya.
Sudah ada beberapa pesan darinya yang masuk dan belum saya baca.
“Maaf..” katanya dalam chat itu, “Syaiha
udah menikah belum ya?”
Glek!!
Saya menelan ludah membaca pesan
itu. Waktu itu saya memang belum menikah. Dan pertanyaan sudah menikah atau
belum, adalah pertanyaan menyesakkan untuk orang yang sudah cukup umurnya namun
masih menyendiri saja. Istilah kerennya: Jones, Jomblo ngenes!
Sama hal nya dengan pertanyaan: “Sudah lulus belum?” atau “Kapan mau lulus kuliah?”. Pertanyaan
sejenis ini, jika ditujukan kepada mahasiswa tingkat empat dan belum juga ada
tanda-tanda kapan akan selesai studinya, maka sama saja meletakkan batu besar
di kepalanya. Menyakitkan.
Pesan dari sahabat saya berlanjut, “Atau,
maaf, sebenarnya Syaiha ada keinginan menikah nggak ya?”
Lagi, saya menelan ludah sendiri
membaca pesan dari sahabat saya ini. Andai ia ada di samping saya kala itu,
mungkin sudah saya jitak tuh kepalanya! Sayang, ia jauh dan entah ada dimana.
Saya menyaksikan jendela chatnya di
facebook, masih hijau, pertanda ia masih online. Saatnya membalas pesan itu.
Setelah menghela napas sejenak,
saya mengetikkan beberapa kalimat kepadanya, “Tentu ada dong keinginan menikah!
Masa nggak ada..” kataku, “Cuma, memang, jodoh itu benar-benar rahasia Allah” Setelah
menekan enter, saya diam sejenak.
Lalu melanjutkan, “Di luar sana,
ada orang-orang yang sudah ingin sekali menikah, segala daya ia kerjakan untuk
menjemput jodohnya, tapi jika Allah bilang belum, ya belum lah yang akan
terjadi. Entah kapan ia akan menikah”
“Sebaliknya, ada juga sebagian
orang yang enggan menikah. Ingin menunda hingga beberapa lama, tapi jika Allah
bilang ia akan menikah segera, maka tunggu saja beberapa saat lagi. Jodohnya
akan datang dan mereka menikah”
“Dan saya, adalah orang yang pertama.
Sudah berkeinginan menikah sejak usia 25 tahun. Tapi hingga sekarang, saat usia
saya menginjak 27 tahun, jodoh itu masih saja tidak jelas siapa. Setidak jelas
matahari ketika tertutup awan hitam yang bergulung-gulung tebal”
Ia lalu membalas pesan saya, “Oh..
Syukurlah kalau memang ada keinginan menikah. Saya doakan semoga jodohnya
Syaiha segera datang”
Dan percakapan itupun selesai.
*****
Kejadian yang sama pernah terjadi
beberapa bulan sebelum kejadian diatas. Dan lagi, saya lupa mencatat kapan ia berlangsung.
Hari apa dan tanggal berapa, saya lupa.
Waktu itu saya sedang liburan di
Bengkulu, di kampung saya. Setelah sekian lama berada di pedalaman Kalimantan,
rasanya mengasikkan menghabiskan waktu bersama ibu dan kakak-kakak saya. Belum lagi,
beberapa keponakan yang masih menggemaskan selalu bertanya ini dan itu tentang
pengalaman saya di Kalimantan. Mereka antusias setiap kali saya bercerita bahwa
di pedalaman Kalimantan itu sekolahnya selalu banjir setiap hari, tapi
anak-anaknya semangat berangkat ke sekolah.
Salwa, salah satu keponakan saya
yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar malah berkali-kali menyela, “Paman,
emang nggak ngeri ya kalau banjir? Kalau nanti ada ular gimana?”
“Kalau mereka hanyut gimana?”
“Emang kulitnya nggak gatel-gatel,
Man?”
Saya tersenyum menyaksikan polahnya
yang selalu ingin tahu ini. Pertanda ia adalah anak cerdas dan membanggakan. Dan
sebagai pamannya, saya mengerti harus menjawab apa dan bagaimana. Momen itu
saya gunakan untuk menanamkan karakter-karakter baik kepada semua keponakan
saya. Betapapun tidak mengenakkannya kondisi kita, kita harus senantiasa
bersemangat menuntut ilmu dan berbuat kebaikan.
Saya paham, mereka mungkin belum
mengerti maksud kalimat saya itu. Tapi, lima atau sepuluh tahun lagi, ketika
pemahaman yang baik sudah mulai bertunas dalam diri mereka, mereka akan
mengerti setiap kalimat yang pernah saya ucapkan ini. Dan semoga
karakter-karakter baik yang saya harapkan itu bisa tumbuh di sanubari mereka. Subur
dan menghiasi setiap tindak tanduknya.
Siang itu, saat saya sedang
bersantai di rumah, ponsel saya berdering. Sebuah panggilan masuk dari sebuah
nomor yang tidak saya kenali. Saya menempelkan ponsel saya ke pipi kiri,
menekan gambar telpon berwarna hijau. Menanti sebuah suara menyapa.
Terdengar suara lelaki di seberang
sana, “Assalamu’alaikum, Syaiha” katanya.
Setelah mengernyitkan dahi karena tidak
tahu siapa yang menelpon, saya menjawab, “Wa’alaikumsalam..”
“Hei.. Ini Ucok..” ujarnya lagi,
dan saya mengernyitkan dahi lagi, ekspresi masih belum mengenali “Ucok yang mana??”. Di Bogor saya punya
sahabat yang bernama Ucok. Di Kalimantan juga ada beberapa teman yang dipanggil
dengan nama itu. Dan ini, Ucok yang mana?
“Ah, kau pasti lupa ya?” katanya, “Ucok,
kawan kau waktu SMP dulu. Ayo lah, masa orang sepintar kau mudah kali lupanya?”
Sambil menepok jidat, saya
menjawab, “Aih, kau rupanya, Ucok yang suka bolos sekolah itu kan? Yang selalu
kena hukuman karena lupa mengerjakan PR?” kataku bersemangat setelah ingat
sahabat lama saya ini. “Harusnya kau mengaku saja, kau tentu saja tidak lupa
mengerjakan PR, kau hanya malas dan tidak bisa kan?” kataku terbahak.
“Ah, payah kali kau. Masa cuma yang
jelek-jelek aja yang kau ingat? Awak kan juga atlet volley sekolah bro. Kalau nggak
ada aku, nggak mungkin sekolah kita dulu bisa juara satu lomba volley
sekecamatan!” kini gantian Ucok yang tertawa tergelak.
Dan percakapan dua sahabat yang sudah
lama tak berjumpa pun mengalir deras. Seperti aliran air dari atas genting
ketika hujan lebat melanda. Banyak dan tumpah seketika. Hingga pada titik
tertentu ia berkata, “Awak udah punya anak dua bro. Kau kapan nikahnya? Jangan belajar
terus lah yang dipikirin! Inget usia loh..”
Gleek... ludah itu pun tertelan dengan sendirinya.
“Doakan saja lah ya, Cok” kataku
pelan.
“Pasti.. Aku pasti doakan kau”
*****
Orang-orang mungkin tidak pernah
tahu, atau memang tidak mau tahu, bahwa orang seperti saya, urusan menikah itu
tidak pernah mudah. Ya, orang dengan kekurangan fisik seperti saya, yang kaki
kanannya lebih kecil dari kaki kirinya, menemukan jodoh itu seperti mencari
jarum di tumbukan jerami yang menggunung. Ketika ada sedikit kilauan yang
dikira jarum, saya pasti dekati, tapi ternyata bukan. Berkali-kali begitu.
Sebelumnya, saya pernah beberapa
kali mencoba hendak menikah dengan jalan yang saya yakini, tidak dengan
pacaran. Saya mendatangi seorang ulama dan meminta kepadanya untuk dicarikan
seorang perempuan yang sekiranya sudah siap menikah dan mau menerima saya. Tapi,
hingga nyaris setahun, ulama itu tidak juga menemukan. Ia menyerah dan
memutuskan tidak bisa membantu.
Hingga ada beberapa sahabat yang
mengenalkan saya kepada beberapa perempuan yang sudah siap menikah dan memang
sedang mencari pendamping juga. tapi, seperti yang saya bilang, pernikahan itu
tidak pernah terwujud karena satu hal, mereka tidak siap memiliki suami yang
cacat.
“Maaf Syaiha, teman saya itu belum
bisa menerima kamu”
“Orang tuanya nggak mau nerima
kamu, Syaiha”
“Keluarganya, kakak-kakaknya, paman
dan bibinya, tidak bisa menerima kamu, Syaiha”
Dan masih banyak lagi kalimat
penolakan yang berdatangan. Saya telan saja semuanya mentah-mentah. Hingga pada
titik ketika saya hampir menyerah, bantuan Tuhan itu datang. Sungguh, Tuhan
mungkin hanya ingin saya berikhtiar semaksimal mungkin untuk menjemput jodoh
saya.
Hingga ketika saya berada pada
titik jenuh dan hendak menyerah, jodoh saya itu Tuhan kirimkan, agar saya
menjadi sadar sesadar-sadarnya bahwa ia tidak boleh disia-siakan, ia harus
dijaga hingga akhir hayat.
Ah, terimakasih Tuhan. Jodoh yang
kau kirimkan ini adalah seorang bidadari yang hebat.
SyaiHa adalah penyandang Disability, kaki kanannya terkena polio sejak
usianya satu tahun. Dengan keterbatasannya sekarang, ia ingin berbagi
semangat, inspirasi, dan harapan. Termasuk dengan semua tulisannya yang
ada di blog ini. Maka mohon, jika tulisannya bagus, boleh disebarkan
sesuka hati. Salam.
0 komentar:
Post a Comment