Pages

12 May 2014

Dua Pelajaran dari Kisah Budi dan Perahunya

Bayangkan ada sebuah perahu kayu sederhana di pantai, tertambat indah disana. Perahu itu bergoyang-goyang mengikuti deburan ombak yang silih berganti datang dan pergi. Kilauan warna perahu sederhana itu semakin terlihat menarik kala senja datang menjelang, berkilauan terkena sinar matahari senja yang menyejukkan.
Perahu kayu sederhana itu memang terawat dengan baik. Budi, lelaki berusia tiga puluhan yang memilikinya, adalah lelaki yang tekun, rajin, dan cinta sekali dengan harta satu-satunya itu. Ia merawat perahu itu layaknya seorang suami merawat istrinya penuh cinta, atau layaknya seorang ayah menjaga anaknya. Budi akan segera memperbaiki ketika ada sedikit saja yang tidak beres pada perahunya. Ia akan segera memperbaharui catnya jika sedikit saja terlihat kusam.
Berpuluh-puluh tahun sudah Budi memesrai perahu kayu miliknya. Tapi, tetap saja perahu sederhana itu terlihat menarik dan menyenangkan bagi siapa saja yang kebetulan melihatnya. Sudah berkali-kali ditawar turis yang kebetulan lewat dengan harga yang menggiurkan, Budi urung melepaskannya.

Lalu, sekarang coba bayangkan jika kapal tersebut diabaikan begitu saja. Anggap saja Budi jatuh sakit, kritis yang menahun. Atau tubuhnya tua dan renta. Ia sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Alih-alih merawat dan menjaga perahunya, menjaga diri sendiri saja Budi sudah tidak kuasa.
Maka, tidak perlu waktu lama, akibat pengaruh sinar matahari dan hujan yang silih berganti datang, juga karena angin, pasir, dan badai yang sesekali menjelang, perahu kayu Budi menjadi rapuh, lapuk, dan akhirnya terbuang percuma. Menjadi rongsokan yang tidak laku dijual mahal.
Teman, satu-satunya perbedaan dalam dua skenario tadi adalah, pada kasus pertama, Budi masih sehat wal afiat, masih muda dan bertenaga, ia menjaga dan merawat perahu kayunya dengan penuh cinta. Maka selama apapun matahari dan hujan menyapa, angin, pasir, dan badai menerjang, perahunya tetap saja menarik dan menyenangkan siapa saja yang memandangnya.
Sedangkan pada kasus kedua, Budi sudah tidak lagi muda, tenaganya juga sudah tiada. Jangankan mengurusi perahu kayunya, dirinya sendiri saja sudah tak terjaga. Maka perahu kayunya menjadi rapuh, kusam, dan rusak.
Perbedaan mendasarnya adalah ada pada campur tangan pihak luar, sehingga perahu bisa bertahan tetap baik dan terjaga. Campur tangan Budi.
Dari dua skenario sederhana ini, kita belajar:
Pertama, di alam ini pasti ada campur tangan sesuatu yang luar biasa cerdas dan hebat, hingga alam yang begitu kompleks ini bisa berjalan sedemikian rupa tanpa pernah melenceng dari keseimbangan yang indah. Berjuta-juta tahun lamanya, tidak pernah ada tambrakan antar planet. Tidak pernah ada anomali. Maka salah ketika ada orang yang mengatakan bahwa alam ini bekerja sendiri tanpa ada yang mengaturnya.
Ingat hukum termodinamika kedua, tentang entropi (ketidakteraturan)? Ia berkata, “semua sistem di alam ini menuju ke arah kehancuran, penguraian, dan kerapuhan apabila ditinggalkan begitu saja dalam kondisi alamiah”. Maka alam yang begitu sempurna ini, yang sudah bertahan berjuta tahun dalam keseimbangan yang sempurna, tidak mungkin tiada yang mengaturnya. Mustahil. Pasti ada Allah disana!
Kedua, kita dapat mengambil pelajaran bahwa waktu itu merusak jika tidak digunakan dengan bijak dan benar. Kasus pertama, waktu tidak mampu merusak perahu karena Budi mengisinya dengan hal-hal yang baik, merawat perahunya. Sedangkan pada kasus kedua, ketika Budi tidak merawat kapalnya lagi, waktu merusaknya. Hidup kita juga demikian, jika kita tidak memanfaatkannya dengan hal-hal baik yang maka hanya akan menjadi penyesalan nanti. Saat orang lain melesat, pergi meninggalkan kita jauh di belakang, kita hanya bisa meratapi nasib penuh penyesalan.
Maka, sebelum semua itu terjadi, isilah waktumu sekarang dengan hal-hal yang anda sukai, menarik, dan bermanfaat.
Demikian.

0 komentar:

Post a Comment