Bayangkan ada sebuah perahu
kayu sederhana di pantai, tertambat indah disana. Perahu itu bergoyang-goyang
mengikuti deburan ombak yang silih berganti datang dan pergi. Kilauan warna
perahu sederhana itu semakin terlihat menarik kala senja datang menjelang,
berkilauan terkena sinar matahari senja yang menyejukkan.
Perahu kayu sederhana itu
memang terawat dengan baik. Budi, lelaki berusia tiga puluhan yang memilikinya,
adalah lelaki yang tekun, rajin, dan cinta sekali dengan harta satu-satunya
itu. Ia merawat perahu itu layaknya seorang suami merawat istrinya penuh cinta,
atau layaknya seorang ayah menjaga anaknya. Budi akan segera memperbaiki ketika
ada sedikit saja yang tidak beres pada perahunya. Ia akan segera memperbaharui
catnya jika sedikit saja terlihat kusam.
Berpuluh-puluh tahun sudah
Budi memesrai perahu kayu miliknya. Tapi, tetap saja perahu sederhana itu
terlihat menarik dan menyenangkan bagi siapa saja yang kebetulan melihatnya. Sudah
berkali-kali ditawar turis yang kebetulan lewat dengan harga yang menggiurkan,
Budi urung melepaskannya.
Lalu, sekarang coba
bayangkan jika kapal tersebut diabaikan begitu saja. Anggap saja Budi jatuh
sakit, kritis yang menahun. Atau tubuhnya tua dan renta. Ia sudah tidak bisa
melakukan apa-apa. Alih-alih merawat dan menjaga perahunya, menjaga diri
sendiri saja Budi sudah tidak kuasa.
Maka, tidak perlu waktu
lama, akibat pengaruh sinar matahari dan hujan yang silih berganti datang, juga
karena angin, pasir, dan badai yang sesekali menjelang, perahu kayu Budi
menjadi rapuh, lapuk, dan akhirnya terbuang percuma. Menjadi rongsokan yang
tidak laku dijual mahal.
Teman, satu-satunya
perbedaan dalam dua skenario tadi adalah, pada kasus pertama, Budi masih sehat
wal afiat, masih muda dan bertenaga, ia menjaga dan merawat perahu kayunya
dengan penuh cinta. Maka selama apapun matahari dan hujan menyapa, angin,
pasir, dan badai menerjang, perahunya tetap saja menarik dan menyenangkan siapa
saja yang memandangnya.
Sedangkan pada kasus
kedua, Budi sudah tidak lagi muda, tenaganya juga sudah tiada. Jangankan mengurusi
perahu kayunya, dirinya sendiri saja sudah tak terjaga. Maka perahu kayunya
menjadi rapuh, kusam, dan rusak.
Perbedaan mendasarnya
adalah ada pada campur tangan pihak luar, sehingga perahu bisa bertahan tetap
baik dan terjaga. Campur tangan Budi.
Dari dua skenario
sederhana ini, kita belajar:
Pertama, di alam ini pasti
ada campur tangan sesuatu yang luar biasa cerdas dan hebat, hingga alam yang
begitu kompleks ini bisa berjalan sedemikian rupa tanpa pernah melenceng dari
keseimbangan yang indah. Berjuta-juta tahun lamanya, tidak pernah ada tambrakan
antar planet. Tidak pernah ada anomali. Maka salah ketika ada orang yang
mengatakan bahwa alam ini bekerja sendiri tanpa ada yang mengaturnya.
Ingat hukum termodinamika
kedua, tentang entropi (ketidakteraturan)? Ia berkata, “semua sistem di alam
ini menuju ke arah kehancuran, penguraian, dan kerapuhan apabila ditinggalkan
begitu saja dalam kondisi alamiah”. Maka alam yang begitu sempurna ini, yang
sudah bertahan berjuta tahun dalam keseimbangan yang sempurna, tidak mungkin
tiada yang mengaturnya. Mustahil. Pasti ada Allah disana!
Kedua, kita dapat
mengambil pelajaran bahwa waktu itu merusak jika tidak digunakan dengan bijak
dan benar. Kasus pertama, waktu tidak mampu merusak perahu karena Budi
mengisinya dengan hal-hal yang baik, merawat perahunya. Sedangkan pada kasus
kedua, ketika Budi tidak merawat kapalnya lagi, waktu merusaknya. Hidup kita
juga demikian, jika kita tidak memanfaatkannya dengan hal-hal baik yang maka
hanya akan menjadi penyesalan nanti. Saat orang lain melesat, pergi
meninggalkan kita jauh di belakang, kita hanya bisa meratapi nasib penuh
penyesalan.
Maka, sebelum semua itu
terjadi, isilah waktumu sekarang dengan hal-hal yang anda sukai, menarik, dan
bermanfaat.
Demikian.
0 komentar:
Post a Comment