Disebuah gunung di Tibet terdapat
sebuah perguruan Silat Kungfu yang sangat hebat dan kesohor. Perguruan
itu dipimpin oleh seorang guru atau Sifu yg sudah tua. Di antara
murid-muridnya Sang Sifu memiliki seorang murid yg sangat pintar yang
bernama Chao Wei. Jurus apa saja yang diajarkan Sifu kepada Chao Wei
maka dengan dengan cepat Chao Wei menyerapnya.
Akhirnya tiba saatnya Sang Sifu
mengajarkan jurus terakhirnya. Dengan cepat pula Chao Wei mengusainya.
Akhirnya semua jurus dari Sifu kini berada ditangannya. Lalu Sifu
memerintahkannya untuk mendatangi dan mencoba ke perguruan-perguruan
Kung fu di setiap penjuru Tibet dan Himalaya. Dengan kemampuan kungfunya
yang hebat ia selalu menang dalam setiap pertandingan.
Kemenangan demi
kemenangan telah diraihnya dan ilmu kungfunya kini semakin tinggi tak
terkalahkan. Tanpa sadar kini Chao Wei mulai berubah, ia mulai merasa
lebih hebat dari semua teman-temannya. Merasa lebih hebat dari para
seniornya. Dan bahkan mulai merasa lebih pandai dari Sang Sifu. Chao Wei
mulai dihinggapi kesombongan dan tidak lagi mau mendengar nasihat Sang
guru.
Pertandingan dimulai, Chao Wei mulai
melancarkan semua serangan jurus-jurusnya yang terkenal mematikan, akan
tetapi selalu bisa dihindari dengan mudah dan ditangkis oleh Sang Tamu.
Dan akhirnya Chao Wei mengeluarkan jurus pamungkas, yaitu jurus andalan
yang bernama ” jurus delapan penjuru angin “ yang sangat dahsyat. Angin-angin taufan bergemuruh dan halilintar dan gunturpun turun akibat pengaruh kekuatan jurus itu.
Akan tetapi Chao Wei lengah ketika
menyerang, dan dgn sigap dan cepat sebuah serangan tapak tangan terbuka
Sang Tamu dengan cepat menyerang ulu hati Chao Wei. Cha Wei terhempas
dan langsung jatuh pingsan. Pertandingan sudah usai dan tamu itu telah
pergi. Setelah Chao Wei tersadar dari pingsannya ia membuka mata
perlahan-lahan, disampingnya Sang Sifu duduk menemani. Chao Wei tidak
tahu bahwa Sang Tamu yang dilawan itu sesungguhnya Dewa Angin Penguasa
Gunung Himalaya ! Guru Sang Sifu.
Kini nampaknya Chao Wei tersadar atas
kesombongannya selama ini, lalu ia meminta maaf kepada Sang Sifu. Lalu
Sang Sifu berkata, “Cha Wei sesungguhnya sayalah yang harus meminta maaf kepadamu karena ada satu jurus rahasia lagi yang belum saya ajarkan”. “apa itu Sifu ?” tanya Chao Wei terbata-bata….Sifu menjawab, “Jurus
terakhir Kungfu Tibet sesungguhnya adalah bukan jurus untuk melawan ke
luar diri, akan tetapi jurus untuk melawan kedalam diri sendiri”
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah hikmah
diatas adalah bahwa ada sebuah ilmu yang sangat sulit untuk dipelajari
yaitu ” wisdom “. Dia bukan ilmu kepala tapi ilmu hati. Bukan ilmu
tangan tapi ilmu jiwa. Ilmu yang tidak kasat mata. Ilmu itu hanya bisa
diraih melalui sebuah pengalaman hidup dan sebuah perenungan yang sangat
dalam. Cara terbaik untuk mempelajari ilmu ” wisdom ” ini adalah REI
dalam bahasa Jepang, yaitu loyalitas kepada atasan, atau senioritas.
Itulah sebabnya di dalam dunia persilatan di China dan dunia bela diri
di Jepang selalu diajarkan secara turun temurun selama berabad-abad
melalui tingkatan sabuk. Dan di dalam keluarga besar ESQ hal ini telah
menjadi Nilai yang kedua setelah Integritas yaitu LOYALITAS. Artinya
tidak cukup hanya pintar, tapi harus menjunjung tinggi loyalitas dan
hormat serta patuh kepada atasan.
0 komentar:
Post a Comment