Pages

8 December 2014

Cintaku Hanyut di Sungai Rangkui

SENJA baru saja meninggalkan bumi dan pekatnya malam mulai menampakkan diri. Langit biru telah bersembunyi bertukar gelap penuh misteri. Beberapa bintang mulai jadi pengganti mentari. Suara-suara pun sudah riuh bernyanyi. Deru kendaran lalu lalang di sana sini. Tapi aku tak peduli. Bahkan tak ada niat untuk beranjak pergi kendati hati sangat terasa perih. “Sudahlah, mulai detik ini kita sudahi saja kisah cinta kita. Mustahil rasanya meneruskan langkah hati tanpa restu dari mamaku. Aku tak kuat dan aku tak bisa,” kata Tiana kepada ku tadi sore.

Aku terperanjat karena tak menyangka sebelumnya bila gadis yang telah ku pacari selama satu setengah tahun itu akan mengucapkan kata putus di hadapanku. Kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku. “Sebaiknya kita memang harus berhenti. Tak ada gunanya meneruskan perjalanan ini. Aku lelah dan hari ini adalah hari terakhir ultimatum mama agar aku segera menjauhimu,” sambungnya.
Memang aku sempat membela diri. Ku coba bertanya tentang salah dan dosaku hingga ia tega memutus cinta. “Mama tak menyetujui hubungan kita berlanjut. Ia sangat keberatan bila kau mencintaiku,” jawab Tiana.
“Tapi apa sebabnya mamamu tidak setuju. Bukankah cinta ini antara kau dan aku. Apakah ada yang salah dengan semua ini,” kejarku. Tapi tak ada jawaban. “Tiana, ikuti kata hatimu. Ketulusan cinta tak bisa dihalangi oleh kebencian emosi dari orang lain. Jika kau memang mecintaiku tolong jangan dengarkan suara yang lain. Katakan itu dan tak usah dustai dirimu karena aku tahu di sudut matamu terpancar isi hatimu yang sesungguhnya,” kataku setengah meminta.
Tapi Tiana cuma terdiam. Tetap tak ada jawaban. Sepatah kata pun tak keluar dari mulutnya. Malah ia kemudian beranjak pergi meninggalkan aku sendirian di pinggiran Sungai Rangkui, sebuah sungai kecil yang membelah Kota Pangkalpinang, Ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Aku pun tak berusaha mengejarnya. Ku biarkan Tiana berlalu dari hadapanku. Tapi dadaku terasa bergemuruh karena tak percaya bila aku dan Tiana tak lagi bersatu. Ragaku seakan rapuh dan lidahku seperti keluh. Dalam galau kemudian aku teringat pesan ibuku sesaat sebelum aku pamit kepadanya untuk menemui Tiana di pinggiran Sungai Rangkui tadi sore. “Nak, cinta memang tak bertepi tapi harus diingat bahwa orang lain bisa saja membuat batas agar cinta itu tak bisa menggelinding jauh,” kata ibu di beranda rumah selepas shalat Ashar.
Ucapan ibu memang sempat mengagetkanku. Sepertinya ia tahu bahwa akan terjadi sesuatu antara aku dan Tiana. “Tidak bu. Aku yakin tak ada orang yang mampu membuat batas itu. Cintaku pada Tiana ibarat samudera luas yang tak berujung,” sanggahku.
Mendengar jawabanku ibu cuma tersenyum. “Samudera memang tak berujung. Tapi sadarkah kamu ada gulungan ombak di tengah sana? Jangan pernah bermimpi mengarungi samudera luas dengan menggunakan perahu yang kecil,” lanjut ibuku. “Apakah salah perahu kecil berlayar di tengah samudera luas, bu? Bukankah setiap orang bebas menggunakan perahu apapun untuk mengarungi samudera. Sama seperti aku dan Tiana. Aku merasa berhak mencintainya karena aku tahu ia pun mencintaiku,” kataku berusaha meyakinkan ibu dengan bahasa yang santun.
Ibu pun kembali tersenyum. Setelah diam sejenak ia kemudian berujar. “Kamu tidak salah, Nak. Hanya saja berlayar menggunakan perahu kecil di tengah samudera luas sangat beresiko. Itulah yang ditakutkan orang tua Tiana. Kamu harus tahu bahwa Tiana bukan cuma milikmu sendiri. Ada orang lain yang sangat mencintainya yaitu kedua orang tua beserta lingkungan di sekitar keluarganya. Mereka tentu tak rela Tiana tenggelam di tengah samudera cinta yang tak berujung. Mungkin saja saat ini mereka telah menyiapkan sebuah kapal pesiar untuk Tiana agar ia tak karam di tengah lautan,” kata ibuku.
Aku terdiam mendengar jawaban ibu. Tak sanggup lagi diriku untuk terus meyakinkannya. Lidahku terasa keluh. “Hapus mimpimu untuk mengarungi samudera itu. Bangunlah segera dan sadar. Mungkin perahu kecilmu hanya sanggup mengarungi pinggiran Sungai Rangkui,” sambung ibuku sedikit bergurau. Pesan ibu yang melintasi pikiranku tiba-tiba terhenti bersamaan dengan bunyi ponsel dari saku celana jeans yang ku kenakan. “Tapi Ibu benar. Aku bukanlah kapal pesiar yang sanggup menghadang ombak di tengah samudera luas. Ke tujuan belum tentu sampai tapi tenggelam sudah pasti,” batinku sembari meraih handphone-ku. Ku lihat sebuah pesan dari ibu yang memintaku untuk segera pulang karena malam kian larut.(*)

0 komentar:

Post a Comment