SENJA
baru saja meninggalkan bumi dan pekatnya malam mulai menampakkan diri.
Langit biru telah bersembunyi bertukar gelap penuh misteri. Beberapa
bintang mulai jadi pengganti mentari. Suara-suara pun sudah riuh
bernyanyi. Deru kendaran lalu lalang di sana sini. Tapi aku tak peduli.
Bahkan tak ada niat untuk beranjak pergi kendati hati sangat terasa
perih. “Sudahlah, mulai detik ini kita sudahi saja kisah cinta kita.
Mustahil rasanya meneruskan langkah hati tanpa restu dari mamaku. Aku
tak kuat dan aku tak bisa,” kata Tiana kepada ku tadi sore.
Aku
terperanjat karena tak menyangka sebelumnya bila gadis yang telah ku
pacari selama satu setengah tahun itu akan mengucapkan kata putus di
hadapanku. Kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku. “Sebaiknya
kita memang harus berhenti. Tak ada gunanya meneruskan perjalanan ini.
Aku lelah dan hari ini adalah hari terakhir ultimatum mama agar aku
segera menjauhimu,” sambungnya.
Memang
aku sempat membela diri. Ku coba bertanya tentang salah dan dosaku
hingga ia tega memutus cinta. “Mama tak menyetujui hubungan kita
berlanjut. Ia sangat keberatan bila kau mencintaiku,” jawab Tiana.
“Tapi
apa sebabnya mamamu tidak setuju. Bukankah cinta ini antara kau dan
aku. Apakah ada yang salah dengan semua ini,” kejarku. Tapi tak ada
jawaban. “Tiana, ikuti kata hatimu. Ketulusan cinta tak bisa dihalangi
oleh kebencian emosi dari orang lain. Jika kau memang mecintaiku tolong
jangan dengarkan suara yang lain. Katakan itu dan tak usah dustai dirimu
karena aku tahu di sudut matamu terpancar isi hatimu yang
sesungguhnya,” kataku setengah meminta.
Tapi
Tiana cuma terdiam. Tetap tak ada jawaban. Sepatah kata pun tak keluar
dari mulutnya. Malah ia kemudian beranjak pergi meninggalkan aku
sendirian di pinggiran Sungai Rangkui, sebuah sungai kecil yang membelah
Kota Pangkalpinang, Ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Aku
pun tak berusaha mengejarnya. Ku biarkan Tiana berlalu dari hadapanku.
Tapi dadaku terasa bergemuruh karena tak percaya bila aku dan Tiana tak
lagi bersatu. Ragaku seakan rapuh dan lidahku seperti keluh. Dalam galau
kemudian aku teringat pesan ibuku sesaat sebelum aku pamit kepadanya
untuk menemui Tiana di pinggiran Sungai Rangkui tadi sore. “Nak, cinta
memang tak bertepi tapi harus diingat bahwa orang lain bisa saja membuat
batas agar cinta itu tak bisa menggelinding jauh,” kata ibu di beranda
rumah selepas shalat Ashar.
Ucapan
ibu memang sempat mengagetkanku. Sepertinya ia tahu bahwa akan terjadi
sesuatu antara aku dan Tiana. “Tidak bu. Aku yakin tak ada orang yang
mampu membuat batas itu. Cintaku pada Tiana ibarat samudera luas yang
tak berujung,” sanggahku.
Mendengar
jawabanku ibu cuma tersenyum. “Samudera memang tak berujung. Tapi
sadarkah kamu ada gulungan ombak di tengah sana? Jangan pernah bermimpi
mengarungi samudera luas dengan menggunakan perahu yang kecil,” lanjut
ibuku. “Apakah salah perahu kecil berlayar di tengah samudera luas, bu?
Bukankah setiap orang bebas menggunakan perahu apapun untuk mengarungi
samudera. Sama seperti aku dan Tiana. Aku merasa berhak mencintainya
karena aku tahu ia pun mencintaiku,” kataku berusaha meyakinkan ibu
dengan bahasa yang santun.
Ibu
pun kembali tersenyum. Setelah diam sejenak ia kemudian berujar. “Kamu
tidak salah, Nak. Hanya saja berlayar menggunakan perahu kecil di tengah
samudera luas sangat beresiko. Itulah yang ditakutkan orang tua Tiana.
Kamu harus tahu bahwa Tiana bukan cuma milikmu sendiri. Ada orang lain
yang sangat mencintainya yaitu kedua orang tua beserta lingkungan di
sekitar keluarganya. Mereka tentu tak rela Tiana tenggelam di tengah
samudera cinta yang tak berujung. Mungkin saja saat ini mereka telah
menyiapkan sebuah kapal pesiar untuk Tiana agar ia tak karam di tengah
lautan,” kata ibuku.
Aku
terdiam mendengar jawaban ibu. Tak sanggup lagi diriku untuk terus
meyakinkannya. Lidahku terasa keluh. “Hapus mimpimu untuk mengarungi
samudera itu. Bangunlah segera dan sadar. Mungkin perahu kecilmu hanya
sanggup mengarungi pinggiran Sungai Rangkui,” sambung ibuku sedikit
bergurau. Pesan ibu yang melintasi pikiranku tiba-tiba terhenti
bersamaan dengan bunyi ponsel dari saku celana jeans yang ku
kenakan. “Tapi Ibu benar. Aku bukanlah kapal pesiar yang sanggup
menghadang ombak di tengah samudera luas. Ke tujuan belum tentu sampai
tapi tenggelam sudah pasti,” batinku sembari meraih handphone-ku. Ku lihat sebuah pesan dari ibu yang memintaku untuk segera pulang karena malam kian larut.(*)
0 komentar:
Post a Comment