Pages

28 July 2012

Cerita : Seorang laki laki tentang kejujuran

Ia terkenang sepuluh tahun
yang lalu. Pertama kalinya ia
harus berjanji dengan dirinya
untuk tidak pernah jujur.
Betapa ia ringis

mengenangnya. Tapi ia sadar harus melakukannya. Sejak
itu ia tidak pernah berkata
jujur kepada siapapun. Ia masih anak-anak 7 tahun
dari keluarga tidak berada.
Anak-anak sebesarnya sedang
sibuk mendaftar sekolah
pertengahan bulan Juli, ia
masih ingat betul tanggal 10. Teman-temannya pada sibuk
pergi ke pasar membeli buku,
baju sekolah, dan pensil.
Hanya ia yang tidak peduli
dengan kesibukan itu karena
ia tahu tidak akan sekolah. Tetangganya, Anto bertanya,
”Kamu tidak daftar Di?” Ia
menggeleng. Tepat hari pertama sekolah,
Anto terkejut melihat Budi
hadir di sekolah lengkap
dengan pakaian seragam. ”Kamu bohong, Di. Katanya
kamu tidak sekolah.” Itu pertama kalinya ia kenal
dengan kata bohong. Ia tidak
mampu menjelaskan kepada
Anto kenapa ia bisa hadir di
sekolah itu dan mengenakan
seragam pula. Ia masih ingat, ketika itu dikatakannya
kepada Anto, Mamaknya
mengirimkan uang untuk
biaya sekolahnya. Tapi Anto
tetap mengatakan bahwa ia
telah berbohong awalnya. Di musim layangan, teman-
temannya sibuk membuat
layangan dari bambu dengan
berbagai macam bentuk.
Berbeda dengan yang lainnya,
hanya ia tidak datang ke lapangan sekolah karena ia
tidak suka bermain layangan.
Namun, pada suatu siang, ia
datang membawa layang-
layang berbentuk kupu-kupu
ke lapangan sekolah. Teman- temannya bilang, ”Katanya
tidak mau main layangan.” Sejak itu tidak ada orang
yang percaya dengan
omongannya. Di sekolah, ia
lebih dikenal dengan nama
Panduto. Lebih akrab dengan
nama Pandu. ”Oh, Pandu,” begitu kata teman-temannya. Bila teman-temannya bermain
dadu atau gambar, Budi tidak
pernah diajak. Berenang ke
sungai juga tidak. Tapi Budi
selalu datang sendiri. Ia tidak pernah senang
dengan panggilan Pandu yang
diberikan teman-teman
kepadanya. Ingin
dijelaskannya kenapa ia tidak
senang bermain layangan. Ia harus membantu ibunya ke
sawah untuk menanam padi.
Daripada teman-temannya
kecewa, ia bilang saja tidak
suka main layangan. Tapi,
pada hari kedatangannya ke lapangan sekolah, ibunya
menyuruh bahkan memaksa. ”Hari ini kamu tidak usah
bantu ibu ke sawah. Main
layanganlah dengan teman-
temanmu,” begitu kata ibu. ”Tapi saya sudah mengatakan
kepada mereka bahwa saya
tidak suka main layangan.
Saya bantu ibu saja di sawah.” Ibu terus memaksa dan
memberikannya sedikit uang
untuk membeli layangan
yang dijual di kedai Pak Amin.
Ia terpaksa melakukannya. Ada yang tidak bisa diterima
teman-temannya, pada hari
Jumat, sebelum mengaji di
surau. Mereka bersama telah
sepakat untuk tidak datang
mengaji. Tos-tosan tanda kesepakatan. Hari itu, mereka
akan main kelereng. Dari
rumah masing-masing,
semuanya tetap membawa
kain sarung dan AlQuran. Di
suatu lapangan yang jauh dari rumah, rencananya mereka
akan berkumpul. Tidak lupa,
dalam kesepakatan,
semuanya harus membawa
kelereng yang banyak. Siapa
yang kalah mesti memberikan kelerengnya kepada
temannya yang menang. Pertama yang datang ke
lapangan Soni. Ia duduk di
rumput sambil menunggu
kedatangan temannya yang
lain. Datang Anto, Pardi,
Ilham, Aldo, dan Gilang. Sebelum memulai permainan,
mereka bercakap-cakap
tentang hukuman yang akan
diterima dari guru mengaji
yang terkenal dengan
hukuman berdiri dengan kaki sebelah itu. ”Kalau bersama tidak terasa
hukuman itu,” kata Anto
membuka suara. ”Biasa saja.” ”Atau, karena kita ramai-
ramai, kita dikeluarkan
mengaji,” Ilham sedikit takut. ”Mana mungkin Guru Bidin
akan mengeluarkan kita
mengaji. Dengan apa ia akan
makan? Bukankah hanya ini
pekerjaannya?” Gilang
mematahkan pernyataan Ilham Lama mereka berbincang,
mereka ingat seorang
temannya lagi, Budi. ”Pandu kemana? Kenapa ia
belum datang?” ”Tunggu saja. Barangkali
sebentar lagi ia akan datang.” Setengah jam mereka
menunggu, Budi tidak juga
datang. ”Dasar Pandu. Ia pasti
berbohong lagi. Kita mulai saja
permainan,” ajak Aldo yang
dari tadi hanya diam
mendengarkan teman-
temannya berbicara. Keesokan harinya, ketika
istirahat siang, Budi
dikerumuni teman-temannya
dan dibawa ke suatu tempat
yang lengang. ”Kamu berbohong lagi.” ”Maaf,” kata Budi singkat. Ia lalu bercerita tentang
ibunya. Tidak ada niat untuk
melanggar kesepakatan itu.
Saya pun suka bermain
kelereng. Tapi entah mengapa,
ketika akan pergi mengaji, saya iba melihat ibu yang baru
saja pulang dari sawah. Ia
berkeringat dan jelas
kelelahan seharian
membanting tulang di sawah.
”Kamu tidak ke surau, Nak?” kata ibu. Saya tidak akan
membohongi ibu, makanya
saya pergi mengaji. Teman-temannya melongo
mendengar Budi bercerita.
Tapi mereka tetap tidak
terima karena nanti sore
mereka semua akan dihukum
berdiri dengan kaki sebelah di tepi sawah dekat surau
sebelum bisa mengaji lagi.
Yang paling ditakutkan, andai
Guru Bidin melaporkan
kepada orang tua masing-
masing. *** Ia pergi dari kampungnya
setamat sekolah dasar.
Membantu ibunya yang sudah
semakin tua. Terlebih, ia tidak
ingin dipanggil Pandu. Di
tempatnya yang baru, ia berjanji pada diri sendiri
untuk tidak pernah lagi
berbohong, dalam keadaan
apapun. Ia tidak akan banyak
berbicara karena semakin
banyak berkata-kata semakin banyak pula omongan itu
yang tidak bisa
dipertangungjawabkan. Garis nasib membawanya
kepada keberuntungan.
Sifatnya yang luwes dalam
bergaul mengantarkan ia
berkenalan dengan Kusniadi,
kepala instasi di bidang pendidikan. Ia dibawanya
berkeja di kantornya sebagai
tenaga honorer. Kusniadi
bahkan menjanjikan suatu
hari nanti ia akan menjadi
pegawai tetap dan di SK-kan. Sampai pada suatu hari ia
mendengar kabar dari
kampung, ibunya sakit keras.
Ketika itu ia baru bekerja
selama dua bulan. Ia lalu minta
libur dan mengatakan alasannya kepada Kusniadi.
Kusniadi mengizinkannya
pulang dan memberikan
waktu libur selama seminggu. Belum sampai sebulan setelah
ia kembali bekerja, ibunya
kembali sakit. Kali ini lebih
parah dari dua bulan yang lalu.
Ditemuinya Kusniadi dengan
alasan yang sama. Tapi jawaban Kusniadi tidak bisa
diterimanya. ”Kamu berbohong. Dua bulan
lalu kamu katakan ibu kamu
sakit. Sekarang sakit lagi.
Saya tidak percaya.” ”Benar, Pak. Kalau Bapak tidak
percaya, silahkan ikut saya ke
kampung.” ”Alasan kamu saja. Kalau
kamu pulang, kamu tidak
akan saya perbolehkan lagi
masuk kantor.” Ia tidak mendengarkan
Kusniadi. Ia pulang ke
kampung melihat ibunya
yang sakit, walau tidak tahu
lagi harus bekerja apa
sekembali dari kampung. Ibunya harus dirawat di
rumah sakit, ia terserang
tumor ganas dan harus
dioperasi. Tapi ia tidak cukup
punya uang untuk merawat
ibunya di rumah sakit, apalagi untuk biaya operasi. Askes
yang diurusnya di kantor Wali
Nagari tidak dapat
menanggung biaya operasi.
Hanya cukup penyediaan
tempat saja, itu pun di kamar yang tidak layak huni.
Untunglah, seorang rentenir
mau meminjamkannya uang
sebesar sepuluh juta dan
dibayar 20% bunganya. Ia
tidak peduli asalkan ibunya sembuh. Dokter berhasil mengangkat
tumor ganas yang bersarang
di kepala ibunya. Alangkah
senangnya Budi, tapi ia harus
berpikir lagi untuk menulasi
hutangnya kepada rentenir yang dijanjikannya lima
tahun dengan bunga hampir
sama dengan yang dipinjam. Ia pergi ke Pekanbaru. Di sana,
banyak orang kampungnya
yang bekerja. Kota itu begitu
terbuka bagi siapa saja yang
mau berusaha. Kebanyakan
orang-orang kampungnya yang merantau ke Pekanbaru
menjadi kaya ketika pulang
kampung waktu lebaran. Ia diterima Soni di Pekanbaru.
Soni berkerja sebagai
pedagang mainan anak-anak.
Memasuki pasar-pasar yang
dihuni oleh orang-orang
transmigrasi. Soni menggajinya cukup besar,
untuk ukurannya. Lagi pula,
laba yang diperoleh dari
berdagang cukup besar. Di
daerah transmigrasi, harga
bisa dilambungkan daripada dijual di pasar Pekanbaru. Satu
jenis pistol anak-anak yang
dibeli dengan harga 15.000,
bisa dijual di daerah
transmigrasi tersebut 25.000.
Mereka tidak protes karena memang tidak tahu harga dan
jarang pergi ke kota. Lagi-lagi,
ia bernasib mujur. Setelah
uangnya banyak terkumpul,
ia bisa berdagang sendiri. Dagangannya tetap mainan
anak-anak. Tapi, ia berdagang
tidak seperti Soni. Soni
menjual satu pistol anak-anak
seharga 25.000 dengan modal
15.000, ia menjual 50.000. Entah berapa kali lipat dari
modal yang ia beli. Bukan
tanpa perkiraan, tapi ia
percaya, ada orang-orang
yang tetap akan membeli
karena ia punya cara lain: berdagang dengan mulut. ”Pistol-pistolan ini saya
dapatkan dari seorang anak
pejabat di Pekanbaru. Tentu
ibu tahu, mana ada pistol-
pistolan anak orang kaya
yang jelek? Ini tahan lama. Lebih penting, anak ibu punya
mainan anak orang kaya.” ”Berapa harganya?” ”Lima puluh ribu saja, Bu.” Ibu itu kaget dan sepertinya
hendak beranjak dari situ. ”Tidak akan ibu temui di
manapun pistol semacam ini.
Lihat mereknya, Bu. Made in
Amerika. Saya yakin, ini
pistol dibeli di sana.” Anaknya merengek dan
menunjuk-nunjuk ke arah
pistol-pistolan yang
ditawarkan Budi. Ia mampu meyakinkan ibu
itu, dan ibu-ibu yang lain
dengan caranya masing-
masing. Berkat caranya
berdagang, dalam waktu tiga
tahun, ia mampu membayar hutangnya kepada rentenir di
kampungnya. Bunganya,
rencananya dalam tenggang
waktu setahun lagi ia janjikan
akan dibayar. *** Budi mampu membayar
hutangnya kepada rentenir
tepat pada waktu yang ia
janjikan. Ia kini telah
mengirimkan uang belanja
tiap bulan kepada ibunya di kampung. Membuatkan
ibunya tempat tinggal yang
layak dan mengembalikan
sawahnya yang tergadai dulu. ”Pandu telah kaya sekarang,”
kata orang-orang kampung. ”Saya yakin kerjanya menipu
orang. Ia kan paling lihai
dalam hal itu,” timpal warga
yang sepertinya tidak senang
dengan keberhasilan Budi. Ia pulang ke kampungnya
tiga hari menjelang lebaran.
Warga kampungnya terkejut,
Budi pulang tidak naik bus,
tapi mobil sedan, untuk
ukuran kampung sudah dianggap wah. Di hari lebaran, ia
menyumbang untuk
pembangunan masjid
sebanyak satu juta rupiah.
Dari mikropon masjid
diumumkan keras-keras. ”Bagi saudara-saudara yang
balik dari rantau, silahkan
sumbangkan jerih payah itu
untuk pembangunan masjid
kita yang masih terbengkalai.
Bidin satu juta rupiah. Ayo, siapa lagi?” Anto, temannya waktu SD
datang ke rumahnya
bersilaturrahmi. Ketika datang
ke rumah Budi, ia telah lupa
dengan Pandu. Yang ada di
depannya sekarang adalah Budi, sahabatnya sewaktu SD
dulu. ”Sudah kaya kau sekarang, Di.
Apa pekerjaanmu?” Ditatapnya sahabat lamanya
itu. Dengan pasti
dijawabnya,”Berbohong.”

0 komentar:

Post a Comment